Jika menilik beberapa acara pernikahan sebelumnya, raut sumringah merujuk pada kehangatan mereka berenam dalam bekerjasama. Kini, tidak ada satu pun yang memahami isi hati masing-masing.
Arif terlihat siap di meja prasmanan, mengecek satu per satu hidangan ditemani Leon, memastikan chaving dish tetap panas. Walau jauh terdapat lubuk hati remaja itu menjerit, bukan kondisi ini yang ia inginkan.
Berulang kali Fauzi mengirim pesan singkat pada Berlian, usai menata mangkuk zuppa soup yang telah matang di atas meja, namun tak urung sang permata hati membalas.
Sela kecewa menyambut Reno, menatap kesal dekorasi Balai Sudirman siang ini. Sia-sia rasa ia mengenal kawan-kawan, rela mengorbankan nyawa, bila pada akhirnya harus menyerah.
Harsya tetaplah Harsya. Menurut mengikuti prosedur job description, sambil meyakinkan diri kuat-kuat bahwa setelah acara ini, ia wajib mengundurkan diri.
Sebentar, ke manakah William?
"Adek kelas lu mana, Ren?" Galih baru saja tiba di ruangan beraroma mawar nan semerbak itu, tampilannya pun rapi seperti biasa.
Reno ikut celingukan. "Bukannya dia ikut lu bantu angkut wedding cake dari mobil ya, Gal?"
"Apaan? Gua gotong sendiri, rapiin sendiri, tuh lagi disiapin di depan pelaminan." Tunjuk Galih mengarah pada empat susun kue bertingkat berlapis gula emas. "Ke toilet mungkin dia."
"Masalahnya, anak-anak service udah mau briefing. Gue disuruh Tante Shafira buat manggil tuh bocah."
"Halaahhh.. pake acara ngilang segala si Richie Rich.. ya udah, kerjaan lu udah beres kan, Ren?"
"Udah semua sih. Mencar aja, yuk."
Menangkap dua orang itu hendak mencari seseorang, Fauzi meminta izin sebentar pada sous chef yang mengawasi mereka.
"Mau ke mana kalian?"
"Nyariin William, Zi. Lu nggak usah ikut deh, biar gua sama Reno aja." Saran Galih, diiyakan terpaksa oleh Fauzi.
Namun Arif tak tinggal diam.
"Lo nggak bisa larang-larang gue ya, Pratama. Firasat gua nggak enak kalo lu berdua kelihatan pengen cabut dari sini sebentar."
"Intuisi lu mantep juga, Rif." Reno berkacak pinggang kagum. "Lu lihat William, nggak, dari tadi?"
"Ini juga yang mau gue tanyain tapi lupa terus! Dari kita bangun tidur, sarapan di rumah Oji, berangkat bareng ke sini, gue kira si bocah konglomerat itu udah pergi duluan ke lokasi!" Arif menginformasikan panik, membuat Galih, Fauzi, dan Reno saling pandang ketakutan.
"Oke, gini.." Galih mencoba mengatur napas. "Kita nggak mungkin pergi semuanya sekaligus, kan? Kita juga nggak bisa gitu aja main susul ke gereja buat ketemu Jana..."
"Tunggu!" Fauzi memangkas cepat. "Lo bilang.. gereja? Jana sama Pak Dohen pemberkatan di gereja? Tahu dari mana lo?"
"Papi sama mami bilang ke gue semalem."
Ada yang aneh, menurut Galih. Mengapa ada ekspresi kegembiraan berlebih muncul di sini?
"Lu semua kenapa ngetawain gue?"
"Hahahaahahh! Duh, maap.. lu kasihan amat, men. Udah kasih nggak sampe, eehh.. ditambah beda iman pula! Buahahaahhh!!"
Semakin kencanglah tawa Reno dan Fauzi mendengar perkataan setengah prihatin Arif.
"PUAS LO BERTIGA?! IYA, GUA SAMA JANA KASIH TAK SAMPE TERUS MAU LU PADA APE??"
Sungguh iba batin Galih, ditertawakan nikmat sekali oleh teman-temannya. Apalagi Fauzi sampai memukul-mukul tepi meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...