"Perasaan gue doang atau emang gue mulai capek?"
Tidak main-main, delapan jam telah berlalu dan Galih sukses berbaring di lantai ruang ganti karyawan restoran. Melepas atribut chef, menyisakan kaus hitam lengan pendek longgarnya seraya merentangkan tangan.
"Nggak cuma lu aja yang capek," sahut Arif. "Mau Ashar bareng di mushala atau sendiri-sendiri?"
"Bareng!" Galih lekas bangkit, menciptakan tawa bagi William dan Reno.
"Ayo, Bang." Ajak Harsya kepada Fauzi, ditanggapi sebuah anggukan, meninggalkan Reno dan William di tempat sepi berselimut dingin AC.
"Koko nggak ikutan shalat juga?" Telunjuk William mengarah ke luar ruangan.
Reno menggeleng, William tentu bingung. Apakah ini yang dinamakan ibadah bolong-bolong, seperti perkataan ibu Harsya jika mendapati anaknya sulit dibangunkan di waktu subuh?
Tak mau terlalu ikut campur kehidupan pribadi orang lain, William kemudian mengedikkan bahu, membiarkan Reno bersandar di pintu loker... bersedekap menatap langit-langit.
Awal ia datang kemari, semula untuk memenuhi maksud hukuman dari orang tuanya, entah mengapa.. senyum dan sederet kalimat penghargaan Tante Shafira kepadanya dan teman-teman lain, sukses menghidupkan jiwa Reno yang semula di ambang kekosongan.
Dulu, ia begitu merindukan kakaknya.
Sekarang, ia enggan berhenti berteman dan para kawan barunya.
"Will,"
Remaja oriental berkaus Armani Jeans navy polos itu menoleh sesaat.
"Kenapa, Ko?"
"Gimana rasanya kerja bareng gue sama anak-anak hari ini?"
"Seru banget, gewlak!" William beringsut mendekat. "Maklum, Ko, gue di sini cuma jadi buruh cuci piring. Sekalinya naik pangkat ke server, rasanya mau terbang! Mana tadi gue dipuji si tante pula. Bilang kalo gue ramah sama tamu, sopan sama beberapa kolega bokap nyokap gue, udah gitu kata si tante.. kemungkinan gue bakal pindah ke service bakal ada kalo nilai rapor gue kece, Ko!"
"Alhamdulillah, Will."
Tidak, Reno benar-benar menunjukkan kejujurannya atas rasa syukur barusan.
Hanya saja, seutas kata sukses mengganjal pikiran remaja itu.
"Gue kok masih curiga sama Mas Leon dan Tante Shafira, ya?" Tanya Reno skeptis, sambil meminum es teh manisnya dalam gelas.
"Soal bom itu?"
"Bukan cuma bom jam tangan aja, Will. Ngapain coba mereka bawa Harsya ke restoran tanpa sepengetahuan kita? Aneh tahu."
"Sebenernya.." tenggorokan William setengah tercekat.
"Apa?" Reno menegakkan tubuh tiba-tiba.
"Gue pengen cerita sesuatu sama lu, Ko. Ini tuh udah ada sejak gue sama Harsya pas awal masuk kerja, cuma semakin ke sini... gue juga semakin ngerasa kalo lu ada benernya, Ko."
"Bener sebelah mananya?!" Desak Reno.
"Kayaknya... Mas Leon emang lagi rencanain sesuatu deh, Ko. Tante Shafira apalagi... jangankan elu, gue aja bingung kenapa cewek cakep begitu mau terima kita kerja magang di tempat dia. Tadinya.. gue nggak mau mikir macem-macem, tapi pas gue pernah lihat Mas Leon suka senyam senyum sendiri setiap lewatin gue yang lagi kerja.. gue tambah curiga dah tuh, Ko."
Jadi bener, ternyata bukan cuma gue aja yang diawasi si tante pas tugas di acara resepsi tadi?
"Lanjut, Will." Pinta Reno bernada serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...