35 - Break The Ice I

2.3K 451 56
                                    

"Gimana, Pa?"

"Mereka kehilangan jejak." Papa William menjawab datar, memeluk erat istrinya di tepi ranjang tempat keduanya berada menanti kabar.

Fajar menyingsing, membuahkan surya dari peraduan detik demi detik, menyisihkan kabut temaram pertanda aktivitas baru siap mengawali cerita.

Haruskah menyapa bahagia, apabila lima pasang orang tua beserta seorang ibu terlihat duduk menunggu di sebuah ruang keluarga mewah, tanpa beranjak terlelap sejak semalam?

Tiada satu pun kata meluncur, menyebabkan kicau burung terdengar nyaring mengitari luar rumah tiga tingkat milik Keluarga Zhong tersebut.

"Nyonya,"

"Bu Safa."

Ibu Harsya mengetuk pintu kamar dari luar, dibuka buru-buru oleh Mama William, seakan informasi apapun wajib ditemukan.

"Pagi, Nyonya, Tuan. Sarapan sudah siap."

"Saya nggak nafsu makan, Bu."

"Nyonya nggak boleh sakit. Tuan dan Nyonya baru sampai di rumah jam dua, belum tidur juga. Paling tidak, Tuan dan Nyonya mau makan barang sedikit saja."

"Apa Bu Safa sendiri bisa makan pas Harsya ikut nggak pulang?"

Kepala asisten rumah itu terpekur kaku, ditatapnya Mama William nanar sembari tersenyum.

"Harsya, William, Arif, Reno, Galih, sama Fauzi tidak akan kenapa-napa. Mereka anak yang kuat, Nyonya nggak perlu khawatir. Semua sudah di ruang makan, saya tunggu kedatangan Tuan dan Nyonya. Permisi."

"Makasih, Bu."

Sepasang suami istri itu saling memandangi foto anak mereka yang baru menjuarai lomba renang di Malaysia setahun lalu, dipajang apik dalam sebuah pigura kayu khas Jepara, terletak di atas meja rias.

"Padahal Mama mau rayain ulang tahun sama kamu, sayang.. tapi kenapa kamu malah pergi nggak ada kabar?"

Melihat mama tak dapat membendung air mata, papa kemudian berlutut membelai tangan sang belahan jiwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melihat mama tak dapat membendung air mata, papa kemudian berlutut membelai tangan sang belahan jiwa.

"Ibunya Harsya bener, kita harus yakin kalau William sama anak-anak lain pasti baik-baik aja, Ma. Semua ini salah Papa, Papa terlalu sibuk sama kerjaan, bahkan Papa main setuju aja pas dia minta izin mau kerja di katering Shafira. Andai Papa bisa langsung kasih tahu William, gimana latar belakang hubungan Bagas sama kita, Papa nggak akan lepas William sama Harsya."

"Mama juga salah." Isak kecil mama. "Nggak seharusnya Mama cuek sama anak tunggal kita, Pa. Mama sibuk dengan urusan sepele, sampe Mama hampir pingsan pas dikasih tahu Pandi tentang penangkapan Bagas di hari pernikahan Jana. Bagus William selamat, tapi sekarang mana tahu, Pa?"

"Maka itu.. kita harus mikir positif, oke?" Papa mengucap yakin. "Lagian papinya Galih, Fauzi, sama Reno udah kerahin anak buah masing-masing. Papa juga udah minta personil tambahan dari BIN sama Polda buat bantu cari mereka."

"Pa, jangan-jangan Dohen..."

"Nggak, William sama mereka nggak kenapa-napa. Dohen nggak mungkin berbuat sejauh itu. Percaya sama Papa, yakin sama Tuhan ya, Ma? Anak kita dan temen-temennya pasti selamat."

Membina rumah tangga selama 18 tahun tentu bukan hal mudah dijalani oleh Tuan dan Nyonya Zhong, apalagi masalah kali ini cukup rumit dan bisa membahayakan jika sedikit gegabah.

Namun, beruntung Papa William dapat menggunakan logika demi menjaga keutuhan naluri. Bila tidak semua orang tua dikaruniai kesempurnaan mendidik dan menjaga darah daging sendiri, pastilah ada kesempatan memperbaiki itu semua.

Dan jelas, sudah waktunya beliau bertindak baik sebagai kepala keluarga handal.

"Mama di rumah aja, temenin ibu Harsya sama Arif, Mami Galih, Fauzi, sama Reno." Papa berkata tegas, mendadak membuka lemari pakaian, mengganti pakaian santainya dengan setelan formal.

"Lho, Papa mau ke mana dan ngapain memangnya? Awas kalau berani ke kantor!"

"Gila apa situasi begini masih mikirin kantor?"

Ibu jari kiri Tuan Zhong menyentuh halus pangkal hidung Mama William, mengajaknya membayangkan sesuatu, sampai wanita itu terperanjat.

"Papa, jangan bilang..."

"Kamu kira ngapain aku minta temen-temen dateng ke sini semalam, kalau bukan ajak mereka negosiasi sama psikopat homo itu?"

"Enak aja! Aku ikut!" Sambar mama. "Nyawa anak-anak di ujung tanduk, Pa! Tolong libatin aku sekali aja!"

"Jangan keras kepala, Ma. Aku sama temen-temen kenal Bagas dari SMA, dia cuma mau jadiin Leon sama Shafira boneka supaya anak-anak kita bisa dieksploitasi! Bagas tahu kita normal, dia sengaja nikah sama pelacur biar nggak ketahuan!"

"Aku nggak nyangka.. Leon sama Shafira jahat banget.." mama mengusap muka kasar, memendam amarah.

"Mereka nggak jahat, sayang.. mereka cuma korban kekerasan psikis ayahnya yang 11-12 sama curut kecebur itu." Jelas papa. "Leon sama Shafira beneran nggak mau Jana nikah sama Dohen, tapi mereka terpaksa nurutin kemauan Bagas dan Dohen atau.. ya itu.. yang pernah kuceritain ke kamu."

"Beneran bakal dijadiin gigolo sama simpanan investor Bagas, Pa?"

Anggukan papa semakin memekarkan rasa bersalah mama. Bagaimana mama lebih mementingkan kehidupan sosialita orang tua muda dibanding keselamatan si anak tunggal, ia menduga Tuhan kini tengah memperingatinya cukup keras.

"Tapi kenapa William sama temen-temennya yang harus bantu Shafira?! Mereka cuma anak SMP SMA yang nggak tahu apa-apa! Kalau alesannya karena anak-anak kita bisa bantu, that's ridiculous!"

"Satu hal yang harus kamu tahu,"

Kedua orang itu saling memeluk, menyalurkan hangatnya energi positif nan menenangkan, saat Papa William berkata...

"Shafira menyayangi Reno, William, Arif, Fauzi, Harsya, dan Galih. Dia nggak peduli kalau Bagas harus dihukum berat, atau pergi tinggalin dunia ini, asal bukan anak-anak yang lepas dari genggaman kita."

"Nggak ada waktu lagi, aku sama temen-temen harus pergi sekarang."

Singkatnya, Papa William bergegas keluar kamar usai mencium kening Mama William.

Berpamitan seadanya diterima walau sesak, mengingat situasi genting memaksa semua orang berpikir jernih sehingga mampu berlaku cerdas.

Di luar rumah, lima orang bapak-bapak kece serta seorang single mother terlihat berdiskusi serius, diperhatikan oleh Mami Galih dan Ibu Harsya.

"Kasihan ibunya Arif, semoga Arif sama anak-anak bisa selamet." Tutur Ibu Harsya setengah khawatir. "Mana kue dari Den William buat nyonya ada di kulkas, dikirim sama kurir bakery tadi pagi. Soalnya nggak diambil sama Den William semalem, eh ternyata.. malah ada masalah ini.."

"Tenang aja. Galih itu otot kawat tulang besi, sering keluar masuk kantor bapaknya tanpa luka. Dia pasti bisa jaga temen-temennya." Sahut Mami Galih santai, lantas merangkul Ibu Harsya agar kembali ke ruang makan.

Jika kalian menyangka bahwa Mami Galih tidak peduli, cobalah baca bab sebelumnya.

Bahwa sesungguhnya penjual wedang ronde di lokasi ketujuh remaja itu hilang, adalah intel suruhan Papi Galih yang kini menyamar menjadi anak buah Bagas Wiwaha.

Tentu saja, di balik pria gagah luar biasa, selalu ada wanita tangguh dan cerdik di baliknya.


***BERSAMBUNG***

AKARSANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang