23 - Black Pearl

2.7K 542 197
                                    

"Melati Gladista Renjana, 18 tahun, senior year, calon mempelai wanita dari Dohen Muliardi, co-founder Sofco Witech. Perusahaan fashion retail daring, setara sama Zalora."

Reno menggulirkan layar ponsel sambil membaca segenap informasi yang diterima dari intel pribadinya, ditemani Harsya, Arif, dan Fauzi di ruang tamu.

Tak ada jalan terang selain begadang, mumpung Arif telah selesai melaksanakan UKK, jadilah mereka berada di rumah Berlian. Menyusun rencana penting, bersinergi membuat strategi, termasuk best and worst case.

Si pemilik rumah dan tamu baru tampak tertidur lelap di kamar, dijaga oleh William dan Galih di ruang TV, asyik menonton Forrest Gump.

Pukul dua pagi. Belum ada satu pun ide matang muncul dalam kepala, malah pikiran sibuk melayang-layang indah.

Arif memikirkan masa depan, Fauzi terantuk ragu tentang pilihan jurusan kuliah, curiganya Reno terhadap Leon dan Tante Shafira yang belum pudar, serta rasa Harsya ingin jajan cilok, telur gulung, kue pukis, dan kue laba-laba setengah matang.

"Besok kalian masuk jam berapa? Gue sama William jam delapan." - Reno.

"Gue sama Galih masih libur." - Arif.

"Besok, ya? Jam setengah delapan kayak biasa sih." - Fauzi.

"Jam 07.15, Bang." - Harsya.

"Harsya biar bareng gue sama William aja, si Galih bisa anter jemput.. ah, jagain Jana seharian buat sementara waktu." Tutup pulpen Reno gigit untuk dibuka, dituliskannya sesuatu di atas kertas. "Arif, lo mau pulang dulu ke rumah atau gimana selama kita sekolah?"

"Kayaknya gue mau ke resto."

Ketiga pasang mata menatapnya heran.

"Ngapain, Bang?" Tanya Harsya tertarik. "Yahh.. sayang banget sih gue baru bisa ke sana habis pulang sekolah."

"Masih jadi dishwasher bareng William, Sya? Kenapa nggak berhenti aja sih? Kan lo udah di katering. Ntar capek, badan lo nggak tinggi-tinggi, mau?" Perhatian betul Fauzi ini.

"Harsya mau setinggi apalagi sih, Zi? Gua tinggal nggak ketemu tiga hari aja kuping gue udah se-leher dia!"

Semua tertawa mendengar Arif bersungut.

"Hehee.. gue mau kumpulin duit buat beliin bapak sepatu baru, Bang, tiga bulan lagi bapak ulang tahun soalnya."

Idaman sekali sosok si bungsu kelompok, membinarkan perasaan kakak-kakaknya yang justru merasa semakin durhaka kepada orang tua dari hari ke hari.

"Gue diajak ketemu sama Tante Shafira besok siang, nggak tahu kenapa. Semoga baik-baik aja."

Fauzi, Harsya, beserta Reno mengamini.

"Gimana orang tua kalian pas tahu kita lagi di sini?" Sungguh, Reno berasa seperti pemimpin agen rahasia sungguhan, selalu mengatur tema pembicaraan sejak awal kedatangan. "Bokap nyokap gue.. yahh.. lagi-lagi boro-boro peduli, ya kan. Yang penting gue udah dibekelin sniper, senjata penting yang tembus razia sekolah, udah. That's it. Paling Kak Irene tuh pas gue mau berangkat, nangis bombay dia gara-gara besok harus balik ke Denver tapi adeknya malah kejebak situasi begini."

"Jangan gitu, Ren.. siapa tahu ortu lo tahajud tiap malem, doain keselamatan lo sama kita-kita. Eh, mereka tuh dalemnya aja sok teges, dingin, aslinya? Nggak mau banget kehilangan kita." Fauzi berkata optimis. "Papa sama mama cuma wanti-wanti, terutama mama, biar gimana pun orang tua Tante Shafira tuh temen mereka juga. Bela kebenaran sih boleh, tapi jangan lengah."

Giliran Arif bersuara, menikmati syahdunya malam Jumat.

"Ibu nggak bilang apa-apa pas gue pamit pergi, tapi dari cara beliau mau nangis lihatin gue masuk mobil Reno, gue tahu ibu khawatir banget. Takut.. kalo gue bakal nyusul bapak sama adek."

AKARSANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang