Seseorang berhasil lolos dari serangan tembak cat Reno, berakhir pingsan akibat pukulan ceting stainless steel William di bagian tengkuk. Mereka sama-sama bernapas lega.
"Cuy, telepon bokap lu." Galih mengangguk singkat, menuruti suruhan Arif. "Gila.. gini amat biar bisa bayaran sekolah. Cita-cita pengen jadi ahli teknisi, malah kerja di dapur jadi chef, selametin nyawa orang.. nggak pernah kebayang selama belasan tahun gue hidup."
"Gue juga males sebenernya berurusan sama cecunguk model mereka. Mending gue masuk homeschooling timbang buang-buang tenaga." Reno yang tak bisa lebih dari setuju, terduduk letih di atas lantai.
"Kalo Bang Reno sekolah di rumah, nggak ketemu kita-kita atuh."
Cekatan, Harsya dibantu Arif dan William membungkus tiga orang berjaket hitam itu dengan kardus bekas di dapur, memakai tali rafia untuk mengikat, plus kain lap gombal sebagai sumpalan mulut.
Berdecak heran lidah Reno, menemukan raut wajah tak sadar ketiganya, membingungkan William.
"Kenapa, Ko?"
"Gedek aja. Dikira bocah sekolah kayak kita nggak bisa apa-apa kali? Penjahat tolol emang. Beraninya lawan mantan anak pramuka."
William tertawa ngakak. "Lu pernah ikut pramuka, Ko? Mantep!"
"Polisi udah di depan!" Beritahu Galih dari balik pintu utama. "Buruan geret tuh beruk-beruk nggak guna! Sebelum bokap gue ngamuk!"
Jadilah, malam ini mereka bersatu padu mendorong dan menyeret kumpulan perusuh di rumah Berlian, demi misi menjemput pulang Jana secara paksa. Di depan pagar, terdapat Papi dan Mami Galih berbusana kasual ditemani ekspresi muka mengkhawatirkan, ketika para tersangka dimasukkan ke dalam mobil yang dikemudikan anak buah Papi Galih.
Harsya berulang kali menguap, meminta izin tidur lebih dulu di ruang keluarga. Sedangkan William, Reno, Arif, dan Galih, masih bercokol di tempat, memastikan mobil polisi telah menjauh pergi.
Syukurlah, ketua RT dan RW, serta beberapa warga yang melaksanakan siskamling bersikap kooperatif sehingga tidak terjadi kericuhan yang tak diinginkan. Mereka pun kembali berkeliling dan kembali ke kediaman masing-masing.
"Fauzi mana?" Tanya Mami Galih lebih dulu.
"Di kamar Berlian, Tante, jagain Jana juga." Arif berinisiatif menjawab.
"Ya udah, kalian semua masuk sekarang. Om sama Tante nginep di sini sampe besok, ya?"
Hati Reno terengkuh tenang, setidaknya ada orang dewasa mendampingi. Karena ia merasa belum tentu sanggup menghadapi semua bersama teman-teman seumurnya saja.
"Terima kasih, Tante. Tante tidur bareng Kak Berlian sama Kak Jana aja, biar Om sama kita-kita gabung bareng Harsya di lantai satu." Sahut William sumringah, mengikuti langkah Mami Galih dan kawan-kawannya masuk ke dalam rumah.
Kecuali Galih, terpekur berdiri di ruang tamu menatap papi takut bercampur resah.
"Mau bolos sekolah besok?"
"Nggak lah."
"Ya udah, terus ngapain masih di sini? Gosok gigi sama cuci kaki sono, baru molor."
Terkejut papi dibuat oleh tingkah laku Galih. Mendadak memeluknya erat, menenggelamkan kepala di dada pria bertubuh tinggi dan tegap itu.
"Maafin Galih, Pi." Lirihnya dalam isak pelan. "Maaf kalo Galih nyusahin Papi sama mami sampe kalian harus repot-repot dateng ke sini. Maaf, Galih udah bentak Papi di kantor polisi. Makasih, Papi sama mami udah mau dateng ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...