9 - Tugas Kedua

3.6K 776 72
                                    

"Saya harus kerjain tugas kelompok sama temen-temen kuliah di kafe deket kampus. Sudah tahu job desc kalian apa aja, kan? Saya harap semuanya bisa bekerja sama dengan baik, ya." Pamit Tante Shafira kepada enam orang anak pegawai katering itu di ruangannya. "Cukup buat hari ini. Saya permisi dulu, selamat siang."

"Siang, Tante. Terima kasih." - Reno.

"Hati-hati di jalan, Tante." - Harsya.

"Oh iya!" Tante Shafira mendadak berhenti melangkah. "Saya udah invite kalian di group chat. Komunikasikan semuanya sebaik mungkin, ya?"

Galih memberi hormat konyol. "Siap, Tante!"

Pintu ditutup, meninggalkan hela napas mereka menatap kepergian atasan kerja idaman. Hari sudah sore, food testing, trial production, dan pelatihan hygiene telah mereka laksanakan. Tinggal bagaimana berlatih lebih maksimal agar tidak mengecewakan.

"Seru, weh.. untung gue diterima di sini." Arif mengambil suara, mendudukkan diri di atas sofa empuk usai bergelut dengan bahan protein hewani di dapur bersama Fauzi. "Baru kali ini gue cicipin makanan seenak tadi."

"Sama, Bang! Sayang sih gue tetep dishwashing, padahal pengen banget bisa masak juga kayak kalian." Harsya menimpali, ikut duduk lesehan di samping Galih.

Sementara Fauzi, Galih, Reno, dan William memilih bungkam. Menu contoh acara resepsi pernikahan itu sering dinikmati di rumah masing-masing, walau tak sepenuhnya mengesankan, mengingat kebersamaan keluarga di dalamnya tidak sama seperti yang Harsya dan Arif banggakan.

Namun, senyum kecil Fauzi menghias manis, betapa ia merindukan ibunya di rumah yang mempunyai hobi memasak.

"Terus, sekarang kita ngapain?" Fauzi tampak bingung.

"Tunggu Tante Shafira balik ke sini lagi atau gimana nih?" Tanya Galih.

Berbeda dengan Reno, ia berkutat serius pada catatan di buku kecil. Mulutnya berkomat-kamit menghafalkan resep minuman yang sempat diajarkan sang bartender, sesekali menulis demi mengingat sesuatu.

William dan Harsya membuka alat permainan catur, sok berpikir saling mengalahkan. Fauzi dan Galih bertukar cerita soal kondisi sekolah masing-masing.

Arif? Ada sesuatu yang mengganggu pandangannya sejak lima menit yang lalu.

"Gengs."

Dalam sekali waktu, semua mengerumuni Arif. Sesingkat itu mereka bisa akrab dan kompak.

"Kalian ngerasa aneh, nggak, kenapa kita tetep harus kumpul dan bukannya disuruh pulang?"

Saling pandang, Fauzi merangsek maju mendekati Arif yang berdiri melihat pemandangan lewat jendela.

"Lo bener. Bersihin dapur lama biar diaktifin lagi buat kebutuhan katering, udah. Belajar sesuai tugas masing-masing, udah. Makan siang, udah. Dikasih resep juga udah. Makanya gue nanya, kita kudu ngapain lagi di sini?"

Tiba-tiba petir menggelegar, menurunkan deras air dari langit membasahi permukaan tanah, diselingi angin.

"Yang pasti, kita tunggu hujan sampe reda baru pulang." Terang Reno. "Turun ke bawah yuk, gue traktir minum. Nggak haus emang kalian?"

"William sama Harsya gimana? Bukannya masih jam kerja?" Galih menoleh ke arah dua bocah itu.

"Kita kan cuma 4 jam sehari, Bang. Malah kudunya kita pulang sekarang." Sahut William diangguki Harsya. "Eh, kalo mau makan lagi ngomong aja, ya. Biar gue traktir juga."

Reno dan William memimpin jalan, membulatkan bibir Fauzi dan Galih seketika.

"Maklum, Bang. Kelebihan uang saku mereka tuh. Yuk." Dipegangnya bahu Fauzi, Harsya menuntun kakak kelasnya ikut keluar ruangan.

AKARSANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang