Botol bir kedua Papi Galih menggiring diskusi tak berujung di hadapan seorang Bagas, ditemani rekan-rekan semasa SMA terdahulu, menuntut keberadaan anak-anak mereka.
Yang tentu saja, takkan Bagas kabulkan sebelum niatnya terlaksana.
Ruang pertemuan di dalam sebuah gedung kantor mangkrak milik Keluarga Dewangkara disulap menjadi dekorasi abad pertengahan, siap mengadakan pernikahan yang sempat tertunda.
Siapa lagi kalau bukan antara Dohen Muliardi dengan Melati Gladista Renjana?
Air mata Ibu Arif terasa kering, bergantian mendapat tepukan bahu penyemangat dari Papa Fauzi dan Bapak Harsya, sesekali bibirnya komat-kamit berdoa.
"Ini udah jam sebelas, lo mau tahan kita sampe kapan, Gas?" Papa Reno bertanya sebal, tidak bisa bergerak karena sinar infra merah dari senjata tajam menyerupai sambungan benang, sedang mengawasi pergerakannya.
Macam-macam sedikit, habis sudah.
"Sabar sih. Klien gue belom kawin juga."
Mereka berenam mengeratkan pegangan pada kursi masing-masing. Meredam amarah memuncak, menggilas ego demi keselamatan para pegawai magang.
Apa sulitnya bernegosiasi? Oh, memang keras kepala ayah si pemilik katering tak pernah pudar sejak dikenali pertama hingga saat ini. Arif dan kawan-kawan boleh saja dilepaskan, dengan syarat Dohen dan Jana telah menikah.
Terang ditolak mentah-mentah, bagaimana bisa hal itu terjadi? Tidak waraskah ia?
"Gas, gue sama anak-anak termasuk almarhum Bapak Arif minta maaf sebesar-besarnya sama lo, kalo kelakuan kita dulu udah bikin lo sakit hati sampe segininya."
"Lu kudu inget, Gas, lo punya anak cowok sama cewek yang wajib lo besarin baik-baik. Jangan gara-gara nurutin dendam kesumat nggak jelas, lo jadi manfaatin kebaikan Leon sama Shafira ke anak-anak kita, apalagi sampe nyuruh mereka jadi korban bisnis prostitusi lo ini."
"Kalo lu ada masalah sama kita tuh ngomong, Gas, kita selesein di sini secara dewasa. Jangan libatin Fauzi, Reno, Harsya, Arif, Galih, sama William, terutama Berlian. Pacar anak gue nggak ngerti apa-apa, tolong lepasin dia."
Semua menoleh ke arah Papa Fauzi. Ketika pria itu bicara, aura wibawa menguar tanak, menyisakan kagum bin pesona lintas usia tak termakan zaman.
Pantas, Mama Fauzi rela menikah di usia muda dengan pejabat tinggi bank sentral negara ini.
"Gue nggak bakal apa-apain pacar Fauzi, asal lu tahu, memangnya Jana nggak butuh make up artist di hari bahagianya ini?" Terkekeh ringan, tangan Bagas memutar-mutar gelas Merlot-nya.
"Hari bahagia kayak apa sih yang lo maksud, hah? Lu nggak mikir?? Seandainya Shafira di posisi Jana sama Berlian sekarang, lo rela gitu lihat dia dinikahi penjahat trafficking berkedok pengusaha retail?!" Bapak Harsya berseru keras. "Stop, Gas, kita tahu lu orang baik. Nggak ada gunanya diterusin!"
Di ujung sana, Papi Galih sesungguhnya gatal ingin segera meringkus makhluk hidup biang kerok satu ini, jika mengutip kata sang anak tunggal.
Namun ia tetap harus berkaca pada pengalaman untuk tidak gegabah. Biarkan si pelaku berlaku sesuka hati, sebelum mengais belas kasihan di tengah dinginnya tembok hotel prodeo.
Bagas ingin sekali tertawa mendengar keras hati Bapak Harsya berucap.
"Kalian nggak tahu, kalian kira gua mau punya anak? Cehh.. bagi gue, Shafira sama Leon nggak lebih dari produk penerus bisnis papanya."
"Udah ubanan, bau tanah, sinting, hidup pula." Giliran Ibu Arif menutur pedas. "Kalo lu nggak suka asuh mereka, tinggal ceraiin ibunya dan bawa mereka pergi dari hidup lo! Heran. Ini kalo laki gua masih ada, lihat temennya model gini, bisa ditabrak mampus lo masuk jurang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...