1 - Arif

11.8K 1.1K 93
                                    

"Kamu memang nggak pernah ikut tawuran. Poin kepribadian negatif kamu cuma sebatas nggak pakai atribut sekolah kayak dasi dan sabuk karena lupa. Absen aman. Di mata pelajaran kejuruan pun nilaimu di atas KKM, tapi Ibu nggak bisa berbuat apa-apa kalau orang tua asuhmu dari pihak yayasan menghentikan pembayaran sekolahmu, Rif. Sebenarnya Ibu juga menyayangkan, sebentar lagi kamu lulus, semoga ada jalan keluar untuk masalah ini. Semoga kamu dan orang tuamu mau mengerti."

"Iya, Bu. Terima kasih. Saya permisi dulu. Selamat siang."

Pembicaraan di ruang kepala sekolah bersama guru BK merupakan mimpi buruk ketiga seorang Arifin Manggala Putra, atau biasa dipanggil Arif. Ditinggal ayah meninggal dunia tiga bulan lalu, adik satu-satunya pun menyusul karena demam berdarah sewaktu masih SD, sekarang Arif harus memutar otak se-bijaksana mungkin agar soal finansial di tahun terakhirnya sekolah tidak menghambat waktu belajarnya.

Perusahaan macam mana yang mau menerima anak belum lulus sekolah? Balik ke tempat praktek kerja industri? Tidak. Arif tidak mau merepotkan banyak teman baiknya di sana.

Pusing, cowok setinggi 174 cm itu melangkah gontai ke halaman belakang sekolah. Tercenung sendu dibaur kalut.

"Arif kudu gimana lagi ini, Pak.. SPP 6 bulan lagi masih harus ditanggung, belum biaya ujian praktek.. Bapak tega bener tinggalin Arif.." isak cowok itu, sembari mengepalkan tangan di atas paha.

Panas terik mentari sepulang sekolah di pukul setengah tiga sore, menyorot kesedihan Arif di sana. Ia teringat ibunya yang sehari-hari mencucikan baju beberapa tetangga, serta menjual nasi uduk setiap pagi, selalu tersenyum mengantar Arif pergi ke sekolah menaiki bus di halte dekat rumah. Semakin deraslah air mata remaja itu membasahi kerah dan lengan seragam yang digunakan untuk mengusapnya.

Berbekal nekat, Arif berusaha berdiri, menyampirkan ransel di bahu, berjalan menjauhi gedung sekolah demi mendapat jalan keluar, sesuai doa yang diutarakan ibu guru BK tadi.

Semoga di sekitar jalan yang biasa Arif lalui, cowok berkulit bersih itu mampu menemukan apa saja yang bisa ia kerjakan. Terserah, Arif tidak peduli lagi kalau harus mencuci motor atau mobil di bengkel, menambal ban, atau apapun sesuai bidang yang dipelajarinya kini.

Kakinya kemudian berhenti di tepi jalan, mengusir dahaga dengan meminum isi botol air mineral, sembari melihat-lihat kondisi tempat usahanya di dekatnya berada.

Nihil, tak ada pengumuman lowongan pekerjaan selama lebih dari dua jam ia bereksplorasi, terpaksa Arif bersabar ditemani sepatu sneakers yang tersobek kecil di bagian tumit. 

Tangan cowok itu merogoh saku seragam, menemukan selembar uang dan memilih berpikir untuk pulang dulu ke rumah, mengistirahatkan fisik dan batin. Untunglah, bus yang dinanti pun tiba sehingga Arif bisa segera menaikinya.

Lagipula, hari menjelang maghrib. Arif tak mau ibunya khawatir.

Di samping kanan Arif, terdapat seorang wanita yang membawa tas belanja kanvas. Dalam hati Arif memuji tindakan go green wanita itu, sambil berpura-pura menikmati pemandangan lewat jendela usang bus.

"Kamu anak SMA mana?" Wanita itu mengangkat kacamata hitam ke atas kepala, mencoba mengobrol dengan Arif.

"Tante.. ngomong sama saya?" Arif menunjuk dirinya sendiri, sementara wanita itu meringis lucu.

"Ya masa' ngomong sama kernet."

"Ooh, saya dari SMK 39, Tante."

"Baru pulang sekolah? Kok sore banget?"

Ini tante satu bening amat.. jadi enak dinotis, hehehe.. "I-iya, Tante. Tadi saya jalan-jalan dulu sebentar."

Wanita itu memakai kacamata hitamnya lagi, berdiri seakan bersiap untuk turun. Namun sebelumnya, ia menyerahkan sebuah kartu nama kepada Arif.

"Apa ini, Tante?" Ya gue tahu ini mah business card dia, tapi buat apa?

"Simpen aja. Kamu nggak tahu kapan kamu akan bener-bener butuh itu. Sampai ketemu, Arif."

Benar saja, wanita misterius itu turun dari bus, di depan sebuah restoran mewah yang biasa dibahas teman-temannya di kelas karena nuansa interiornya sangat instagramable.

Kartu nama itu dibolak-balik oleh Arif. Tak ada yang mencurigakan, hanya tertera nama Tante Shafira, berikut nomor telepon dan alamat restoran tadi.

"LAH IYA, KOK DIA TAHU NAMA GUE?" Arif langsung histeris. Segera ia mengetuk-ngetuk atap bus, meminta agar diturunkan.

Mengherankan. Arif telah berlari ke arah sebelumnya agar dapat menemui si tante, namun yang Arif dapatkan hanya bangunan restoran yang sepi. Tiga mobil terparkir, seorang host di depan pintu utama restoran, tak ada tanda-tanda keberadaan wanita baik hati itu.

Masuk atau tidak? Otak Arif sulit memutuskan. Maklum, belum makan siang, nggak bisa berpikir jernih.

"Arif?"

Merinding bulu kuduk Arif mendengar ia dipanggil oleh suara yang pertama kali menyapanya di dalam bus, tubuhnya pun berbalik gugup.

Si tante tersenyum, menghampiri Arif dan mengelus kepala cowok itu seolah seperti keponakan sendiri.

"Kok diem aja? Masuk gih, kamu belum makan, kan? Tante masak banyak di dapur, sayang kalo nggak kamu habisin."

Kecurigaan Arif bertambah. Intuisi waspadanya timbul ke permukaan saat si tante tak juga melunturkan senyumnya, sukses meluberkan hati Arif.

"Jangan takut, Rif. Tante bukan orang jahat, justru Tante mau bantu kamu. Sebelum Tante jelasin semua, kita masuk ke dalam dulu. Kamu perlu isi tenaga, baru setelah itu, Tante jamin masalah kamu bakal teratasi."

"Oh ya, mulai sekarang, panggil saya Tante Shafira. Oke?"

***BERSAMBUNG***

AKARSANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang