33 || Siasat

146K 9.1K 235
                                    


-----

Saat bel pulang sekolah berbunyi, Vanya dengan segera mengemasi perlengkapannya, mulai dari buku, pulpen, Tip-x, pensil dan perlengkapan lain yang mungkin di perlukan. Jangan tanya kenapa Vanya memiliki semua itu, dia memang sengaja membeli perlengkapan sekolah yang di butuhkannya agar dirinya tidak perlu kesusahan ketika mencari pinjaman. Ibaratnya seperti sedia payung sebelum hujan.

Setelah membereskan semua perlengkapannya, Vanya nengeluarkan Hp nya dari dalam tas dan mengirim pesan pada Ryan jika dirinya akan pulang lebih dulu.

Setelah memastikan pesannya benar-benar terkirim, Vanya keluar dari kelasnya dan berniat mampir ke kelas Rena untuk mengajaknya pulang bersama walaupun tidak searah.

Vanya tiba di kelas Rena bertepatan dengan keluarnya siswa-siswi di kelas itu.

Merasa risih dengan tatapan mereka padanya, Vanya membenarkan letak maskernya, tangannya sudah berkeringat dingin entah kenapa.

Teman-teman sekelas Rena yang keluar kelas selalu memperhatikannya dan kemudian mulai berbisik satu sama lain.

''Iya, aku juga pernah lihat dia duduk sendirian di pojok perpus''

Vanya tidak tahu apakah ucapan itu masih tergolong sebuah bisikan atau memang sengaja di perdengarkan padanya, pasalnya gelagat mereka memang seperti orang berbisik namun tidak dengan nada suara yang cukup di tinggikan.

"Vanya?" tanya Rena ketika melihat Vanya berdiri di depan kelasnya.

"Lo nungguin gue?" tanya Rena lagi yang tentu saja di jawab anggukan singkat oleh Vanya.

"Kamu bawa motor?" tanya Vanya ketika mereka mulai melangkahkan kaki keluar.

"Nggak, gue bareng Vivi." jawab Rena dan kemudian melambaikan tangannya pada Vivi yang sudah menunggunya di Parkiran.

"Gue pulang duluan ya." kata Rena cepat kemudian berlalu meninggalkan Vanya yang masih berdiri di koridor sekolah.

Vanya menghela nafas pelan, cukup maklum dengan keadaan Rena karena hanya nebeng bersama Vivi yang berasal dari kelas Ipa dua.

Vanya masih memperhatikan bagaimana interaksi Rena yang sangat akrab dengan Vivi di depan sana. Vanya merasa sejak kejadian di gudang, Rena seperti menjauihinya.

Dan disinilah Vanya sekarang, berjalan sendirian di jalur khusus pejalan kaki seperti yang biasa dia lakukan sejak Sekolah Menengah Pertama.

Dari kejauhan, Lia terus saja mengikuti Vanya tentunya dengan menjaga jarak, dirinya belum benar-benar yakin kalau itu Vanya karena tidak melihat wajahnya. Setelah beberap kali berkunjung kerumah mama angkat Vanya, Lia jadi tahu beberapa hal mengenai Vanya, salah satunya Vanya sekolah di SMA Harapan. Tidak, bukan Tya ataupun orang di rumah itu yang memberitahunya, melainkan tetangga yang ternyata cukup mengenal Vanya, dan dari ciri-ciri yang mereka sebutkan kalau Vanya itu selalu pakai masker, memakai jaket dan membawa ransel berwarna Coklat. Dan semua itu sama persis dengan gadis yang tengah di ikutinya.

-----

Ryan dan Deril saat ini tengah berada di ruang Osis untuk melaksanakan rapat perdana mengenai kegiatan kemah yang diadakan seminggu lagi.

"Jadi apa ada saran untuk lokasi kemahnya?" tanya Ryan pada seluruh anggota Osis yang mengikuti rapat hari ini.

Salah satu cowok berkacamata yang duduk di belakang mengangkat tangannya dan mengsulkan lokasi kemah yang cukup strategis.

"Gimana kalau di Daerah selatan?" usulnya, Daerah selatan merupakan sebutan untuk sebuah hutan yang berada di bagian selatan gedung sekolah ini, hampir seluruh siswa-siswi tahu daerah itu, walaupun mereka belum pernah turun secara langsung.

"Boleh tuh." jawab salah seorang lagi mendukung cowok berkacamata.

Karena banyak yang setuju untuk mengambil lokasi di sana saja, Ryan akhirnya menyetujuinya dan memutus beberapa orang untuk meninjau lokasi apakah aman atau tidak.

Setelah rapat Osis selesai, satu persatu anggota Osis bubar dan pulang kerumah masing-masing.

"Lo langsung pulang?" tanya Deril pada Ryan yang tengah mengunci ruang Osis.

"Hm"

"Nggak mau ke rumah Putra dulu?" tanya Deril lagi.

"Nggak, gue langsung balik aja." jawab Ryan kemudian berlalu lebih dulu.

"Yaudah, nanti malam gue tunggu di rumah Putra." teriak Deril ketika Ryan sudah berjalan cukup jauh.

-----

Hari ini Ayah Leya, Fero sudah kembali dari luar kota. Tya hanya khawatir jika nanti Lia datang kerumah mereka dan bertemu Fero kemudian menceritakan semua tentang Vanya padanya. Tidak, itu tidak boleh terjadi, biar bagaimanapun Tya harus selalu mengawasi Lia.

"Papa?" itu suara Leya yang baru pulang sekolah dan mendapati papanya duduk santai di ruang tamu.

"Papa kapan datang?, Leya kangen banget sama papa." kata Leya yang langsung memeluk papanya.

"Tadi pagi papa datang, sekarang kamu mandi dulu terus kita pergi makan." kata Fero seraya mengusap pelan kepala Leya.

Leya bersorak senang kemudian melangkah menuju kamarnya.

Tya yang sedari tadi berada tidak jauh dari sana tentu saja mendengar percakapan ayah dan anak itu, sudah lama sekali dirinya tidak merasakan kehangatan melihat hal itu.

Disisi lain, Vanya kini memutuskan untuk mendudukan dirinya sejenak di sebuah halte, sebenarnya dirinya cukup berjalan 10 sampai 15 menit lagi untuk sampai apartement. Namun karena kelelahan berjalan sekitar 45 menit, Vanya tentu saja merasa lebih memilih untuk duduk sebentar.

Jangan tanya mengapa dirinya tidak naik bus saja atau semacamnya, karena sampai saat ini Vanya belum memiliki penghasilan sendiri. Dirinya masih memikirkan kembali pekerjaan yang sempat di lakukannya saat SMP. Ryan?, Vanya masih merasa sungkan untuk meminta uang pada Ryan, biar bagaimanapun mereka masih sekolah dan belum punya penghasilan sendiri.

Lia yang mengikuti Vanya sejak tadi ternyata juga merasa kelelahan, sulit mengikuti seseorang menggunakan kendaraan kalau yang di ikuti saja jalan kaki, contohnya seperti gadis itu.

Tak ingin membuang-buang waktu, Lia dengan segera mendekat ke arah Vanya dan langsung mencekal lengannya.

"Kamu Vanya kan?" tanya Lia tepat di hadapan Vanya.

Vanya yang mendapat serangan tiba-tiba seperti itu merasa sangat ketakutan, dia yakin kalau mamanya belum sepenuhnya mengenalinya karena memakai masker.

'Percuma' batin Vanya berusaha mengeluarkan kalimat agar mamanya tidak mengenalinya, namun lidahnya seakan kelu, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Vanya?" suara Lia kembali terdengar, cengkramannya di lengan Vanya semakin kuat karena tak kunjung mendapat jawaban.

Vanya dapat merasakan tangannya yang gemetar, jantungnya berdetak cepat, nafasnya memburu, bahkan untuk bergerak dari pijakannya pun kakinya seakan lemas tidak mampu bergerak.

'Bagaimana ini?'

Melihat gelagat gadis di depannya ini, membuat Lia menjadi yakin jika gadis ini memang benar Vanya, hanya satu cara membuktikannya. Iya, benar, dengan membuka maskernya.

Tangan Lia perlahan mendekat pada wajah Vanya bermaksud membuka maskernya, namun tiba-tiba saja tangannya di tahan oleh seseorang.

"Anda siapa?"

Vanya menoleh, itu suara Ryan, entah sejak kapan Ryan datang, yang pasti Vanya merasa sangat bersyukur karena Ryan datang tepat waktu.

"Kamu yang siapa?" balas Lia dengan ketus.

-----

1025 kata

Jangan lupa Vote dan komen ya ˊ▽ˋ

My Wife's Secret (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang