36 || Permintaan

139K 9.9K 433
                                    

Hanya perlu satu orang untuk pergi agar seribu kebahagiaan datang menghampiri. Dan akulah yang harus pergi.
-Vanya_vr-

-----

"Lama banget sih buka pintunya!" kata Deril ketika Ryan baru membuka kan mereka pintu.

"Biasa aja dong, masih untung gue bukain pintu lo!" balas Ryan nyolot.

Putra hanya menggeleng memperhatikan, Deril sang pembuat masalah dan Ryan yang tidak mau kalah, dasar orang-orang tidak jelas. Batin Putra kemudian memasuki apartemen Ryan terlebih dahulu.

"Ntar malam mama gue baru bisa datang." kata Putra.

"Beneran nggak bisa cepet ya?" tanya Ryan.

Putra menggeleng, dia sudah menghubungi mamanya, dan jadwal kosong hanya nanti malam saja.

"Gimana kalau panggil dokter lain aja?" usul Deril yang ternyata langsung di tolak mentah-mentah oleh Ryan.

"Nggak, Dokter Prima itu yang lebih banyak tahu soal Vanya, sulit kalau harus cari dokter lain lagi." jelas Ryan.

"Jadi gimana?, Vanya di biarin aja gitu sampai malam?" tanya Deril karena tidak puas dengan jawaban Ryan.

"Ya nggak gitu juga." jawab Putra agar Deril segera diam.

"Gimana kalau lo panggil mama lo aja kemari?" usul Putra yang ternyata mendapat anggukan setuju dari Ryan.

"Oke, gue langsung jemput mama aja, kalian jagain Vanya dulu ya, tapi nggak usah sampai masuk kamar." peringat Ryan sebelum pergi.

Beberapa menit menunggu akhirnya Ryan datang juga bersama Sonya mamanya.

------

Sonya perlahan memasuki kamar dan mengecek keadaan Vanya, dirinya sengaja meminta ketiga anak lelaki itu agar tidak perlu masuk kamar karena dia akan menanganinya sendiri.

Sonya mengusap pelan kepala Vanya yang berkeringat seraya memanggil namanya pelan agar Vanya terbangun.

"Vanya.." panggil Sonya lembut.

"Vanya.." panggil Sonya sekali lagi sehingga Vanya perlahan membuka matanya.

"Apa yang sakit sayang?" tanya Sonya.

"Kepalaku sakit mah, dingin." lirih Vanya,. Namun dirinya tiba-tiba terkejut ketika menyadari bahwa tidak ada masker lagi di wajahnya.

Sonya yang menyadari keterkejutan Vanya dengan segera merengkuhnya ke dalam dekapannya, dia tahu jelas Vanya pasti sangat ketakutan, mengingat datangnya Lia untuk membawanya kembali.

"Kamu jangan takut ya, mama disini jagain kamu." kata Sonya berusaha menenangkan Vanya yang masih bergerak gelisah, bahkan Sonya dapat merasakan bahu Vanya yang bergetar ketakutan, dan suhu tubuhnya pun terasa hangat.

"D-dia datang lagi.." lirih Vanya dalam dekapan Sonya, berusaha menumpahkan segala ketakutannya.

"Kamu harus bisa lawan ketakutan itu Vanya." kata Sonya berusaha membuat Vanya percaya diri.

"D-dia mau bawa aku lagi, aku harus ikut, aku nggak mau lagi menyusahkan kalian semua." kata Vanya berusaha mengumpulkan keberaniannya, semakin lama Lia mencarinya, semakin berdampak buruk bagi orang-orang di sekitarnya dan Vanya tidak akan membiarkan itu.

"Kamu tidak perlu ikut sama dia, kami semua akan selalu melindungi kamu sayang." ucap Sonya yang kini semakin mengeratkan pelukannya.

Vanya menggeleng samar, dia tahu betul orang seperti apa mama kandungnya, bagaimanapun semua masalah ini akan selesai jika dia ikut bersama mama kandungnya, Lia. Dan juga bisa mengobati dendam Leya padanya.

"A-ku udah janji sama Leya buat memperbaiki semua keadaan ini mah, jadi nggak ada alasan buat aku tidak pergi." kata Vanya agar Sonya mengizinkannya.

"Tidak, mama nggak akan biarin kamu pergi mengikuti wanita itu." kata Sonya perlahan meneteskan air matanya. Mengapa Vanya sampai berpikir untuk ikut dengan wanita itu lagi?.

Sonya dapat merasakan dengan jelas gelengan Vanya.

"Aku-nggak mau lagi menyusahkan kalian semua, jadi Vanya mohon mama izinin Vanya pergi." kata Vanya lagi mencoba membujuk Sonya agar mengizinkannya.

"Sekali tidak, tetap tidak, pokoknya kamu nggak boleh pergi." kata Sonya tidak menerima bantahan.

Vanya diam, sangat sulit untuk membujuk Sonya agar mengizinkannya pergi, apa pergi diam-diam adalah solusinya? pikir Vanya.

Sonya melepaskan dekapannya, untuk sesaat dirinya terkagum melihat wajah Vanya yang ternyata sangat cantik, matanya yang selalu memancarkan keteduhan dengan bibir pink kecil yang membuatnya terlihat cantik sekaligus manis dalam waktu bersamaan.

Sonya mengulurkan tangannya untuk menyentuh bekas luka di pipi Vanya.

"Kamu sengaja nggak pernah obatin ini biar hilang bekasnya?" tanya Sonya.

"Hmm.." jawab Vanya ragu, memang benar yang di katakan Sonya, kalau dirinya sengaja tidak memberi obat apapun pada bekas lukanya agar tidak hilang, dia sengaja melakukannya agar saat Lia melihatnya tidak akan lagi terjadi insiden seperti dulu.

"Mama akan bantu kamu, kalau perlu kita pindah saja dari kota ini." usul Sonya.

Vanya menggeleng, tidak, mereka tidak boleh pindah dari kota ini, tidak boleh, kalau tidak rencananya untuk memperbaiki semuanya akan gagal.

"Nggak perlu mah." jawab Vanya berusaha setenang mungkin.

"Ya udah, kamu belum makan kan sayang?, sekarang kamu makan dulu."

Vanya mengangguk, berusaha berdiri dari posisinya dan kemudian bergerak untuk mencari maskernya.

"Kamu memang perlu masker itu?" tanya Sonya memastikan, mungkin saja dengan begini Vanya akan terbiasa melawan ketakutannya.

Vanya mengangguk, membayangkan dirinya berkeliaran di luar sana tanpa masker membuatnya bergedik takut.

Sonya yang mengerti arah pikiran Vanya berusaha kembali menenangkan Vanya dan meyakinkannya agar membiasakan diri membuka masker nya di dalam rumah saja.

"Kamu mau tidak mencoba tidak memakai masker di dalam apartemen ini sekali saja?"

Vanya diam, tak mengangguk ataupun menggeleng, ini adalah pertama kalinya dirinya bisa bertahan selama beberapa menit tanpa masker dan merasa ketakutan.  Dan dia tahu kalau Sonya lah yang membuatnya menepis ketakutan itu sedikit demi sedikit.

"A-ku akan coba." jawab Vanya dengan memejamkan matanya.

Raut senang terpancar dengan jelas di kawah Sonya, dengan segera dirinya membantu menuntun Vanya hingga sampai di ruang makan, walaupun sebenarnya Vanya masih merasa sangat pusing dan kedinginan, namun dia tidak tega jika harus selalu menyusahkan orang lain agar membawakannya makanan.

Ryan, Deril dan Putra yang menunggu di luar kamar tampak terkejut ketika melihat Vanya keluar tanpa maskernya. Ryan berdecak pelan melihat kedua temannya yang tidak berkedip melihat Vanya sedari tadi.

"Kedip woy, kedip!!!" teriak Ryan di dekat kedua temannya itu agar tersadar.

"Ganggu aja sih." balas Deril santai dan kembali memperhatikan Vanya yang kini sudah berada di meja makan.

Mendengar jawaban Deril, membuat Ryan geleng-geleng kepala, dengan isyarat tangannya, Ryan mengajak Putra untuk memberikan hukuman pada Deril.

Putra yang mengerti langsung saja menahan kedua lengan Deril ke belakang dan Ryan berdiri di hadapan Deril dengan posisi siap untuk menggelitiknya sampai mampus.

"Hahaha haha... Ampun, janji nggak lagi hahaha." kata Deril di sela-sela rasa geli yang terus menyerangnya. Dasar teman tak berperikemanusiaan.

-----

Terima kasih pada pembaca yang masih bertahan, jangan lupa Vote dan komen ya :')

Sekalian jangan lupa pollow♡

My Wife's Secret (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang