----
Hari ini adalah hari libur sekolah. Sejak pulang dari cafe semalam, Ryan sudah memikirkan untuk mengajak Vanya jalan-jalan hanya saja sampai pagi ini Ryan bahkan belum sempat mengutarakan keinginannya, masih menunggu waktu yang pas katanya.
"Loh kamu ngapain disitu?" Tanya Vanya bingung melihat Ryan hanya berdiri di depan lemari pendingin atau lebih tepatnya kulkas tanpa membukanya.
"Mau ambil buah." Jawab Ryan yang kemudian bergerak membuka kulkas dan mencari-cari buah yang menurutnya sangat enak, buah apel.
Vanya yang ke dapur untuk mengambil air minum langsung saja berjalan ke arah rak piring, dan mengambil sebuah gelas yang kemudian di isi dengan air minum. Sambil menenteng gelasnya, Vanya duduk di salah satu kursi meja makan.
"Mama nggak hubungin kamu?" Tanya Vanya pada Ryan, mama yang di maksudnya adalah mama Ryan, Sonya.
Ryan menggeleng, "nggak." Balasnya.
"Aku tadi sempat bicara sama mama, katanya kalau lagi libur gini harus sering-sering mampir kerumah." Jelas Vanya yang memang sudah berbicara dengan Sonya.
Ryan hanya mengangguk menanggapi, merasa waktu yang pas untuk mengajak Vanya, akhirnya Ryan pun mengatakannya.
"Nanti kalau udah pulang dari rumah mama, kita jalan yuk." Ajak Ryan.
"Boleh, tapi mau jalan kemana?" Tanya Vanya.
Ryan diam, tampak berpikir, sebenarnya dia juga belum punya rencana apapun untuk tujuan mereka nanti.
"Mall aja gimana?" Usul Ryan.
Vanya menggeleng,"terlalu Ramai."
Mendengar jawaban Vanya yang tidak bersemangat seperti itu membuat Ryan yakin ada sesuatu hal lain yang membuatnya tidak ingin pergi kesana.
Suara decitan kursi yang beradu dengan lantai terdengar tatkala Ryan menggeser pelan kursinya agar lebih dekat dengan Vanya, dia perlu memberi tahu beberapa hal padanya.
Ryan menatap Vanya, kedua tangannya kini berada di bahu Vanya agar Vanya tidak bergerak ataupun berpaling darinya.
"Kita tetap ke mall, hitung-hitung sebagai latihan agar kamu lebih terbiasa tidak memakai masker lagi, bukannya semalam kamu udah berhasil maju selangkah melawan ketakutan itu?" Ujar Ryan pelan dan dalam. Sejak semalam Ryan akhirnya mengganti pengucapannya menjadi Aku-kamu jika berbicara pada Vanya.
Vanya diam, masih meresapi kata-kata Ryan yang seperti mampu menghipnotisnya seperti tadi malam. Sebenarnya Vanya sudah siap dengan tampilannya seperti biasa dan tak lupa pula maskernya, namun Ryan membujuknya agar belajar melepas masker itu saat keluar apartemen, Ryan hanya tidak ingin Vanya terus-terusan bergantung pada benda itu, sudah cukup beberapa tahun Ini Vanya melakukannya.
"Yaudah." Balas Vanya yang membuat Ryan tersenyum lega.
Satu fakta yang selama ini Vanya sembunyikan adalah dia sengaja tidak mengobati atau memberi apapun untuk menghilangkan bekas luka di wajahnya. Vanya sengaja agar saat bertemu Lia Vanya tidak takut lagi di lukai dengan cara yang sama.
-----
Mobil yang mereka kendarai akhrinya tiba di mall. Setelah beberapa jam mereka berkunjung menemui Sonya, akhirnya di sinilah Vanya dan Ryan berada.
Vanya menghela nafas pelan, jujur saja saat ini Vanya merasa sangat gugup, takut , dan panik, namun genggaman tangan Ryan yang menyalurkan rasa hangat padanya membuat Vanya jadi lupa akan semua itu, kini hanya rasa senang lah yang dirasakannya.
Ryan melangkah lebih dulu memasuki mall yang memang sangat ramai apalagi di akhir pekan seperti ini.
'Jam Tangan Pria'
Begitulah tulisan yang tertera pada sebuah papan kecil yang terpasang dengan rapi di bagian atas pintu. Vanya mengikut saja saat Ryan mulai memilih - milih jam tangan yang di sukainya.
"Bagusan Hitam atau Coklat?" Tanya Ryan yang langsung mengembalikan atensi Vanya padanya.
"Coklat." Jawab Vanya.
"Oke, aku beli yang hitam." Jawab Ryan menahan tawanya ketika melihat ekspresi Vanya yang sungguh terasa lucu, ekspresi campuran antara kesal dan ingin marah.
"Nggak kok, tentu saja belinya yang warna coklat." Ucap Ryan cepat sebelum Vanya benar-benar meluapkan kekesalannya.
Jika biasanya bepergian ke mall yang lebih banyak berbelanja adalah cewek, namun berbanding terbalik dengan Vanya dan Ryan, dimana Ryan lebih banyak berbelanja dan menanyakannya pada Vanya terkait cocok atau tidaknya barang itu padanya.
"Ini udah toko ke tujuh yang kita masukin." Ucap Vanya seraya menghentikan langkahnya.
Melihat Vanya berhenti, Ryan pun ikut menghentikan langkahnya.
"Ini beneran yang terakhir." Bujuk Ryan agar Vanya kembali ikut bersamanya memasuki toko sepatu.
"Kamu udah ngomong gitu juga di toko sebelumnya." Balas Vanya yang sepertinya tidak ingin lagi masuk kedalam.
Ryan terkekeh, "beneran yang terakhir, setelah itu kita pergi makan" kata Ryan yang memang bersungguh-sungguh.
-----
Ryan benar-benar menepati ucapannya, setelah beberapa kali berdebat perihal sepatu, Ryan akhirnya mengalah dan membeli sepatu sesuai pilihan Vanya, walapun sebenarnya Ryan tidak terlalu suka warnanya.
"Tunggu sini, aku pesen makanan dulu." Titah Ryan pada Vanya yang duduk lebih dulu di bagian depan, bagian yang cukup dekat dengan kasir.
Ryan ikut duduk berhadapan dengan Vanya ketika selesai memesan, untung saja pengunjung disini sedang tidak ramai seperti di tempat lain, jadi Ryan tidak perlu menunggu lama saat mengantri.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka akhirnya datang juga, "selamat menikmati." Kata sang pelayan yang kemudian berlalu kembali ke dapur untuk mengantarkan pesanan yang lain.
Tengah asyik makan, tidak sengaja Vanya melihat Rayya melewati meja mereka. Apa Rayya tidak melihat mereka? Atau Rayya memang sengaja?
"Itu beneran kak Ray?" Tanya Vanya seraya menunjuk seseorang yang baru saja keluar.
Ryan menoleh kemudian mengangguk, dia masih sangat tahu Bagaiman Rayya dan kesehariannya.
"Rayya memang sering kesini." Ucap Ryan.
"Kak Rayya itu baik banget ya." Ucap Vanya ketika mereka telah menghabiskan makanannya masing-masing.
"Baik gimana?"
"Pokoknya baik, Fia cerita ke aku kalau Kak Rayya waktu itu melarang dia buat sebarin foto aku." Jelas Vanya.
"Rayya emang kayak gitu, nggak suka kalau ada orang yang berbuat tidak baik sama orang lain." Ucap Ryan santai, pandangannya terarah pada pintu keluar yang dilalui Rayya sejak tadi.
"Kamu memang tahu banyak hal soal Kak Rayya.." ucap Vanya yang ikut memusatkan pandangan nya pada pintu keluar.
"Tapi aku lebih tahu banyak tentang kamu." Balas Ryan tersenyum kecil.
"Kita susulin Kak Ray yuk." Ajak Vanya antusias.
"Kenapa?" Tanya Ryan bingung. Menyusul Rayya?
"Aku pengen ucapin terima kasih sama dia." Jawab Vanya.
"Nanti aja, kita langsung balik pulang." Putus Ryan tak ingin menerima bantahan.
Selama perjalanan pulang, Vanya hanya diam memandangi gedung-gedung yang mereka lewati hingga sampai di apartemen.
"Nih." Vanya Refleks menangkap benda yang di lemparkan Ryan padanya, rupanya sebuah gantungan kunci berbentuk bola, tak hanya satu, namun ada lima bola dengan corak hitam putih yang memiliki ukuran dan bentuk yang sama.
Vanya tersenyum memandangi gantungan kunci itu, aneh sekali Ryan memberikannya barang seperti ini.
-----
Jangan lupa Vote dan komen ya karena banya vote dan komen itu = cepat update👻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wife's Secret (COMPLETED)
Ficção Adolescente[PART MASIH LENGKAP] "Buka masker lo!" "Nggak" "Yaudah, lo tinggal diluar aja" "Nggak akan" Vanya veranya, seorang cewek yang di juluki gadis misterius disekolahnya karena Selalu mengenakan masker serta jaket bahkan ketika jam pelajaran. Ryan Keanno...