"Buat apa sih nangis? Jangan bikin gue mikir lo masih Hana gue."
- Sagara-----
Sudah lima belas menit Hana menelusuri taman Skyline demi mencari liontin yang Gara buang. Meski kemungkinannya sangat kecil, namun Hana tetap berusaha menemukan benda cantik itu.
Beberapa menit kemudian, Hana terduduk diatas rerumputan, mengusap air matanya, menghela nafas pelan. Ia lelah mencari sesuatu yang kecil kepastiannya.
Disaat dirinya mulai pasrah, bangkit dan berjalan pergi kembali ke kelas, penglihatannya tak sengaja menangkap benda yang agak berkilau diterpa sinar mentari.
Itu dia yang Hana cari.
Berjarak cukup jauh dari posisi Hana sekarang, tapi masih bisa terlihat. Hana tak langsung mengambil karena benda itu tersangkut di batang bunga.
Hana kan alergi serbuk sari.
Lantas bagaimana ini?
Dengan tekad yang bulat, Hana akan menentang alerginya. Ia mulai berjalan sambil menutupi lubang hidungnya. Kini ia mulai masuk kawasan bunga di area taman Skyline.
"Hacim!" Hana langsung bersin begitu membuka lubang hidung untuk pernapasan. Ia pun bergerak cepat, mengambil liontin itu meski alerginya mulai kumat. Berkali-kali Hana bersin.
"Akhirnya ketemu—hacim!" Ucap Hana yang sudah keluar dari kawasan ber-bunga itu.
Hana memandangi kedua liontin dengan tatapan sendu. Masih ingat jelas di benaknya, malam dimana Gara memberikan benda itu padanya.
Bulir bening berjatuhan dari kelopak mata kala Hana mengingat masa-masa indah bersama Gara.
Meski dengan segala sikap menjengkelkannya, sosok lelaki yang dikenal sebagai Singa Skyline itu telah sukses menggoreskan kenangan abadi di hati Hana.
Padahal Hana sendiri yang memutuskan mengakhiri hubungan mereka, seharusnya ia senang karena Gara menyetujui hal ini. Tapi dengan egoisnya Hana merasakan sakit hati sekarang, seolah Gara lah tokoh antagonis dalam kisah mereka.
Hana menghapus air matanya, mau bagaimanapun, ini adalah keputusannya. Ia harus bertanggung jawab, ia harus terbiasa dengan tanpa adanya sosok Gara.
Kaki Hana kembali melangkah menuju kelasnya. Ia melirik jam di pergelangan kirinya, sudah dua puluh menit ia membolos jam pelajaran pertama.
Walapun tahu akan mendapat hukuman, Hana tetap akan masuk kelas.
Sampai disana, pintu kelas tertutup rapat, sangat sunyi pula. Artinya, sudah ada guru didalam sana.
Dengan pelan Hana mengetok pintu kelas, lalu membukanya. "Pagi, Pak." Salam Hana.
Pria kisaran usia 40 itu menghentikan acara mengajarnya. "Masuk."
Hana berjalan masuk, kepalanya tertunduk malu mengetahui seisi kelas memandanginya dengan tatapan aneh. "Maaf, Pak, aku telat masuk."
"Ada urusan penting?"
Kepala Hana menggeleng pelan, "enggak terlalu."
"Kamu paham apa yang akan kamu dapat jika terlambat masuk di jam saya?" Tegas sang guru.
Kali ini Hana mengangguk. "Tau, Pak."
"Kamu sudah mengerjakan tugas yang saya tugaskan kemarin lusa?"
"Sudah."
"Coba saya cek."
Hana beranjak menuju mejanya, mengambil buku tugas, lalu kembali kedepan dan diserahkan pada sang guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garahana
Teen Fiction"Apa? Ngomong yang jelas! Perlu diajarin kayak anak TK?!" "Gue suka lo!" g α r α h α n α Abban ⓒ 2018