Jinyoung yang sedari tadi mandangin Nahee yang tidur di sampingnya dalam hening.
Batinnya berkecamuk, entah kenapa, yang jelas dia merasa bersalah banget.
Cowok itu ngehela napasnya pelan terus narik selimut yang nutupin badannya dan Nahee sampai nutupin leher cewek itu.
Gak lupa dia ngusap sekilas kepala Nahee, "yang nyenyak tidurnya."
Lo cuma ngerasa bersalah...
Lo cuma ngerasa bersalah...
Lo cuma ngerasa bersalah...
Berulang kali Jinyoung ngerapalin kalimat itu di dalam hati setiap kali dia bersikap baik ke Nahee.
Hatinya merintahin dia buat bersikap baik—karna Nahee gak pantes buat gak diperlakuin baik apa lagi setelah dia lupa ingatan—tapi di sisi lain otaknya nolak mentah-mentah isi hatinya.
Jinyoung sampai bingung sama dirinya sendiri.
Dia bingung, antara mau ngikutin hati atau ngikutin otaknya dia.
Kalau dia ngikutin hatinya, artinya dia harus ngelepasin Jinkyung.
Sebaliknya, kalau dia ikutin otaknya, dia harus ninggalin Nahee.
Mikirin itu semua, cowok itu jadi terkekeh sendiri. Emang lo mau cinta ke Jinkyung sekedar pakai logika?
Gila. Hati lo punya Jinkyung.
Nahee bergerak dalam tidurnya, ngebuat Jinyoung dengan sigap ngelus kepala cewek itu lagi biar balik pulas.
Setelahnya, dia bangun dari acara tidurannya. Ada yang harus dia lakuin sekarang ini.
Nyari keberadaan Jinkyung.
***
"Tuan," panggil Pak Lee begitu Jinyoung masuk ke ruang kerjanya dan ternyata asisten pribadinya itu ada di dalam. "Maaf tentang yang tadi."
Jinyoung tentu langsung mandang Pak Lee, tapi cuma sekilas, "tolong biasain diri, Pak. Jangan ngebuat saya semakin ngerasa bersalah."
"...iya, Tuan. Maaf sekali lagi."
"Dimana Jinkyung?" Jinyoung langsung ngerubah topik obrolannya.
"Nona Jinkyung—Nona memang pergi ke Makau," jawab Pak Lee dan langsung dihadiahi napas lega punya Jinyoung.
"Tolong diawasi, jangan sampai dia kabur dari saya."
"Baik, Tuan."
"Bapak boleh pulang dan tolong sampai akhir pekan ini saya mau istirahat di rumah. Semua kerjaan yang penting tolong dialihkan dulu. Bapak juga boleh libur kalau mau."
"Baik, Tuan."
"Tapi gak ada kata libur buat mantau Jinkyung, Pak Lee."
"Saya akan melapor setiap hari, Tuan."
Jinyoung ngunggingin senyum tipis, "bagus."
"Saya permisi kalau begitu."
Jinyoung ngangguk dan Pak Lee langsung beranjak pergi dari ruangan itu.
***
"Hai?"
Sumpah demi apapun, rasanya Jinkyung rindu setengah mati sama suara itu. Walaupun itu cuma sebatas sapaan dari sambungan telepon, dia bener-bener masih bisa ngerasain itu semua.
Suara Jinyoung yang kedengeran lelah tapi juga kedengeran senang di saat yang bersamaan. Biasanya kalau cowok itu udah bersuara kaya gitu artinya dia beneran capek tapi seneng bisa ketemu sama dia buat berbagi keluh kesah.
Dan biasanya peran Jinkyung adalah ngedengerin ocehan Jinyoung sampai dia ngerasa capek.
Sayangnya, sekarang ini ada jarak yang misahin mereka. Membentang jauh, misahin perasaan mereka juga.
"Jinyoung," sahut Jinkyung lirih.
"Kenapa pergi nggak bilang, Kyung?"
Jinkyung di ujung sana ngegigit bibir bawahnya pelan, "aku takut ngeganggu kamu yang sibuk. Maaf."
Kedengeran helaan napas dari arah Jinyoung, "sejak kapan kamu bisa mikir kaya gitu, Jinkyung?!"
"...ya, aku tahu kamu pasti kesel," sahut Jinkyung. "Sekarang keadaannya udah beda, Jinyoung. Udahlah."
"Apanya yang beda? Gak ada yang beda. Aku udah minta tolong ke kamu buat sabar sebentar, Kyung."
"...ya, aku masih berusaha sabar, Jinyoung. Sampai sekarang aku masih nunggu kamu," balasnya. "Tolong kamu selesaiin aja dulu urusan kamu sama Nahee. Aku bakalan nungguin kamu di sini. A—aku gak bisa kalau harus ngelihat kamu sama cewek lain. Mending aku yang pergi."
"Tapi nggak perlu sejauh ini, Jinkyung..." suara Jinyoung kedengeran memelas. "Aku gak bisa nemuin kamu..."
"Lebih baik kaya gitu, bukan?" Sahut Jinkyung lirih banget. "Kamu jadi bisa fokus selesaiin urusan kamu dulu."
"..."
"Kamu udah tahu, Jinyoung, aku dimana. Ayolah, gak susah buat nemuin aku kalau kamu udah selesaiin urusan kamu," lanjutnya diiringi dengan kekehan pelan tapi kedengeran pilu.
"..."
"Tolong jangan buat aku jadi kaya orang jahat, Jinyoung, tolong..." lirihnya lagi. "Kamu udah jadi suami orang lain, aku juga cewek, aku bisa ngerasain apa yang Nahee rasain..."
"Jinkyung—"
"Sakit, Jinyoung, rasanya," selanya. "Tolong kamu putusin keputusan kamu, secepat mungkin dan tolong kasih tahu aku, apa keputusan kamu."
"..."
"Aku harap kamu bisa milih apa yang seharusnya kamu pilih, Jinyoung. Don't mind me, I am oke."
"Jinkyung—jangan kaya gini," balas Jinyoung. "Aku pilih kamu, Jinkyung. Jangan kaya gini.
"Jangan serakah. Pikirin aja sebenernya hati kamu sekarang punya siapa," sahut Jinkyung. "Pikirin baik-baik sebelum Nahee pergi ninggalin kamu, Jinyoung."
"..."
"Bakalan lebih sakit rasanya buat aku waktu ngelihat kamu ditinggalin Nahee dari pada kamu yang ninggalin aku," Jinkyung mulai keisak lagi. "Karna dari dulu aku udah tahu, aku sama kamu gak akan bisa setara. Cinta nggak harus saling punya, Jinyoung. Tapi cinta bisa datang karna kebiasa."
"..."
"Jangan pikirin aku, aku udah siapin diri aku dari dulu."
"..."
"Kabarin aku lagi waktu kamu udah punya jawaban yang seharusnya kamu kasih tahu ke aku."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/207667348-288-k122048.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Hate - Bae Jinyoung
Fanfiction-you make me fall in love, but you hate me too. ©slrmoon - Januari, 2020