TB&TV | Bagian 9

365 24 2
                                    

Hari-hari berlalu dan akhirnya dua minggu aku telah bersekolah di SMAN 3. Kabar ulangan harian lamban laun keluar dari mulut guru-guru di tiap mapel kami. Rasanya galau sendiri memikirkannya.

Untuk Adimas, anak laki-laki itu masih belum menunjukkan banyak perkembangan. Maksudnya, aku ingin kembali berbicara dengannya. Dia tidak cuek seperti Aidan, namun rasanya dia seperti menghindariku.

Akhir-akhir minggu yang akan mendekati perlombaan LKBB mereka, Adimas jarang berada di kelas. Kehadirannya selalu izin di absen guru yang mengajar hingga jam pembelajaran berakhir. Alhasil Aidan duduk seorang diri dan tak jarang dia keluar kelas di saat pembelajaran masih berlangsung dengan embel-embel meminta izin ke kamar mandi dan tak pernah kembali usai jam pelajaran berakhir.

Saat mereka berdua meninggalkanku sendiri di belakang, Indy pun duduk di sampingku.

Di tiap harinya, tak sengaja melihat Adimas saat tiba di sekolah atau di saat jam pulang, dia selalu mengendarai sepeda gunungnya.

Dan karena itu semua, aku sudah memutuskan untuk mengendarai sepeda juga ke sekolah.

Namun kata ibu, "rumah kita agak jauh loh dek. Kamu pikir cuman sekilo aja dari sekolah."

"Aku pulang ke rumah tante Arin aja kan gak jauh-jauh amat dari sekolah. Perumahan deket sekolah, kan? Ntar kak Delina jemput aku di sana."

"Lah trus sepedanya?"

"Mintol ke ayah buat bawain ke sana. Please?"

Ibuku mengibaskan tangan ke wajah pasrah. "Dah-dah intinya sepeda kamu itu udah debuan. Gih dibersihin dulu sana."

Aku terkekeh saja saat menyadarinya. Sepedaku sudah cukup lama tidak digunakan. Semenjak masuk SMA, hobiku yang bersepeda dahulunya perlahan menghilang begitu saja.

Ibu mengikutiku menuju gudang samping rumah. Kugeret sepeda keluar, ibu pun bertolak pinggang bingung padaku. "Kamu kenapa tiba-tiba mau naik sepeda sih?"

"Biar sehat," jawabku santai-- seperti menjadi tujuan utamaku. Namun, jujur saja karena seseorang.

"Jangan bohong." Aku memelototkan mata kala ibu seperti mencoba menebak-nebak isi pikiranku.

"Aku gak bohong." Aku menghela napas sembari melihat-lihat badan sepedaku yang memang sudah berdebu lama tak tersentuh. "Adel udah SMA, bu. Udah gak lama lagi, kan?" Ibu tahu maksudku.

"Ada-ada aja kamu."

"Gak ngedukung nih ceritanya?" Aku melirik ibu menggoda.

"Ibu dukung kok. Tapi kamu nih suka tiba masa tiba akal," timpalnya membuatku tertawa pelan.

Saat ibu memasuki rumah, aku menstandar sepeda, melihat keseluruhan badan sepeda gunung milikku. Masih bagus cukup dibersihkan saja, sudah bisa kembali kugunakan senin depan.

Aku akan membuat Adimas berbicara denganku lagi.

Dia teman lamaku, lebih tepatnya musuh a.k.a korban usilan saat masih kanak-kanak. Bukankah teman akan tetap menjadi teman? Sekalipun berpuluh-puluh tahun lamanya tak bertemu, ketika akhirnya Tuhan mempertemukan, tali pertemanan tak boleh diputus begitu saja hanya karena gengsi ketinggian.

Dan aku akan memperbaikinya bersama Adimas.

Aku akan menggunakan sepedaku untuk pulang bersamanya.

Dan mungkin juga aku akan minta maaf sesuai janji dan niatku saat SD dulu.

○●○

"Stop, stop!" Delina memberhentikan mobil tepat di depan pagar tante Arin yang masih tertutup.

"Buru-buru amat."

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang