Aku berjalan di samping Adimas, mengelilingi komplek perumahan tempatku tinggal, dan juga dia dulunya.
Kuputuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah, menemani Adimas menuju taman bermain perumahan sewaktu kami masih SD dulu.
"Masih terawat?"
"Masih," jawabku sembari kutolehkan wajah pada anak laki-laki di sampingku ini.
Karena ada beberapa tetangga kami yang masih mengingat Adimas, beberapa dari mereka menegur kami berdua setibanya kami melalui jalan perumahan. Betapa terkejutnya mereka melihat Adimas yang sekarang.
Ya siapa yang tidak kaget, kalau dulunya Adimas ini terkenal dengan anak mami-nya dan dengan perawakan fisik ... yang besar, katakanlah seperti itu.
Aku tertawa pelan, mengingat reaksi-reaksi tetangga kami yang lama.
Adimas menaikkan alisnya sebelah. "Kenapa tiba-tiba ketawa?"
"Salah yah kalau gue ketawa?" Aku berdecih memanyunkan mulut mengejeknya.
"Ya gak normal aja ngetawain yang gak ada lucunya sama sekali." Adimas menoleh ke sana kemari selama perjalanan kami, mengecek perubahan apa yang ada di setiap rumah tetangga kami yang lainnya. "Lagi pula lo ketawa sendiri."
Aku menepuk telapak tanganku seraya menertawai Adimas. "Gue keinget aja yang tadi-tadi," jawabku.
"Yang Pak RT?"
Kutepuk bahu Adimas dan kembali tertawa. "Iya hahahahahahaha Ya Allah ngakak bener dah. Pada syok banget orang-orang."
Adimas tidak bereaksi. Dia hanya tersenyum seadanya dan pandangannya lurus ke depan.
Kuhela napas sepanjang mungkin dan kemudian kuhembuskan. "Ahhh ada-ada aja ya?"
"Ya gak apa-apa." Kutarik garis bibirku ke samping, jawaban anak laki-laki ini membuatku mengasumsikannya sedikit lebih dewasa dari umurnya.
"Itu Dim," kataku pada Adimas sembari menunjuk taman bermain perumahan.
Letak taman bermain perumahan tempatku tinggal terletak di belakang area pemukiman kami semua. Jadi, tidak heran anak-anak kecil memang lebih sering menghabiskan waktunya mereka di sini terlebih di sore hari.
"Masih bagus ya?"
"Iya." Aku memandang punggung Adimas yang meninggalkanku.
Dia membalikkan badannya dengan berjalan mundur. "Rumah pohon lo masih ada Del," sahutnya lalu menunjuk arah tempat tersebut yang berada di pojok taman bermain.
Aku mengulum senyum meladeni kalimat Adimas barusan. Rasanya damai mungkin hanya perasaanku saja-- karena angin sepoi-sepoi menyapu keringat sehabis pulang dari sekolah sore ini.
Bagaimana cara Adimas menyentuh batang rumah pohon ... seperti ia melepas kerinduan seraya mengingat masa-masa yang dahulu.
"Kasian banget gak bisa naik dulunya."
Adimas tertawa kecil. "Yah karna ketua geng gak ijinin."
Aku beranjak menaiki tangga kayu yang ditancap pakuan di badan pohon untuk menaiki rumah pohon. "Yaudah sekarang gue ijinin," kataku padanya.
"Gak usah nanti patah lagi," tambahnya.
Sedetik dua detik berlalu, kami pun tertawa bersama.
Aku tidak habis pikir akan Adel yang dulu ...., terlalu kejam, tegaan dan jahil pada siapapun terutama Adimas yang dulu.
"Sini naik," ajakku lagi. "Gak perduli dibilangin udah kayak bocil aja." Aku mendengus. "Lagian bokap gue yang ngebuat nih rumah pohon dulunya. Mereka gak taunya aja gue dulunya tuh pemilik dari rumah pohon ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...