Teriknya matahari seperti menggoreng permukaan kulit. Begitu perih, bukan ide yang bagus memang mengenakkan pakaian berlengan pendek. Anak-anak murid yang lainnya terutama siswi yang memilih menutupi wajah ataupun kulit mereka dengan cardigan, sweater atau apapun itu untuk berlindung.
Berbeda hal dengan anak Paskibra sekolah mereka yang tengah latihan di lapangan upacara sekolah.
"Kalau mereka tuh diizinin reapply sunscreen gak sih?"
Yang lain berdecak meladeni pertanyaan bodoh itu. "Jangankan sunscreen, air minum aja kagak dikasih kalo emang belum waktunya."
"Lo pernah denger ga sih? mereka tuh sebotol sepasukan."
"Yang bener aje lo?"
"Seriusss. Boro-boro pentingin kulit, minum aja sulit."
Mereka berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepala merasa miris dengan anak Paskibra sekolah mereka yang tengah latihan untuk persiapan pengibaran bendera nanti.
Adel ikut mengangguk-angguk setuju meladeni apa yang dibicarakan teman-teman kelasnya ini. Jangankan menjadi anak Paskibra, menjadi salah satu mantan anak marching band sekolah dia sudah hampir gila harus menghadapi terik matahari. Terlebih lagi di saat hari-h semakin dekat, mereka bermalam di sekolah hanya untuk kembali terus menerus melakukan gladi bersih seolah-olah akan tampil di saat itu juga. Dari pagi hingga malam gelap gulita.
Intinya mengikuti ekstrakulikuler seperti ini memang melelahkan tetapi pengalaman akan proses mereka selama latihan keluh dan kesah mereka sangatlah mahal. Dibandingkan mereka-mereka yang hanya menonton hasil jerih payah latihan mereka berbulan-bulan.
Di jam istirahat seperti ini Adel sendiri saja tanpa Indy. Gadis itu tengah latihan di lapangan basket belakang sekolah, suara alat musik terdengar jelas, namun nampaknya mereka hanya tengah latihan per divisi saja. Tidak tengah latihan gabungan.
"Gue cabut ke kantin dulu ya mau beli siomay," sahut Adel ke teman-teman kelas perempuannya.
Mereka duduk di teras kelas. Semuanya pun mengangguk kompak pada Adel. Sesaat sudah menjauhi kelasnya, Adel menunduk mengambil uang di kantungnya sembari berjalan.
Karena anak itu menunduk, ia tidak melihat siapapun yang ia lalui ataupun siapapun yang akan ia hadapi.
Adel menangkat wajah dan ia cukup kaget mendapati sesosok anak lelaki yang sangat ia kenal. Matanya tidak rabun, di sana jelas ia melihat keberadaan Fajar.
Ia tidak bisa ke mana-mana Fajar juga melihat ke arahnya.
Jika saja Fajar tidak melihatnya Adel bisa saja kini memutar badannya sempurna. Namun kini itu bukan ide yang bagus seolah ia memang berniat menghindari Fajar yang tengah berdiri di bawah pohon mangga kantin mereka yang rindang.
Adel menaikkan alisnya memberi kode kepada Fajar sebagai sapaannya. Fajar tak sendiri ia bersama anak Pelita Kartini lainnya yang tentunya juga anak Paskibraka seperti dirinya.
Mereka tidak seolah-olah berlagak sok di depan para murid sekolah negeri Adel sekarang. Mereka mengenakkan jaket hitam klasik layaknya anak lelaki biasanya.
"Lo Adel kan?" Adel mengangguki anak lelaki bermata sipit khas etnis Tonghoa di hadapannya ini.
Adel baru saja benar-benar mendekati mereka berada dan pertanyaan itu pun terlontar padanya.
"Gue pikir lo pindah ke sekolah swasta lain," tambahnya pada Adel.
"Yaa lagi pula saingan Pelita Kartini emang SMA ini aja, kan sejauh ini?" Nada Adel menantang namun dengan lagak santai bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Ficção AdolescenteAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...