Sudah berapa kali kutolak tawaran Fajar, anak laki-laki itu memintaku untuk ikut dengannya. Ceritanya, dia akan mengantarku ke rumah namun aku tahu itu bukan ide yang bagus. Aku harus selalu ingat salah satu alasanku pindah dari Pelita Kartini agar aku tidak menjalin hubungan apapun dengan Fajar.
Apalagi menerima ajakannya, malah akan membuat ikatan kembali.
Klakson mobil Fajar menyapa ke arahku tandanya anak laki-laki itu akan bergegas pergi. Aku tersenyum saja saat Fajar mengeluarkan wajahnya dari jendela dan melambaikan tangannya semangat.
Aku segera menenteng tas selempangku berjalan kaki di trotoar keluar dari area perbelanjaan, tempat Kafe yang kukunjungi sebab angkutan umum tidak biasanya memasuki daerah tersebut.
Hanya 100 meter sebelum kupijakkan kakiku ke jalan besar kota, kudapati Adimas berada di salah satu mini market terdekat.
Anak laki-laki itu tengah berdiri tak jauh dari pintu masuk mini market. Aku jelas saja mendapatinya ketika hendak berlalu lewat.
"Adimas?"
Adimas lalu mendekat ke arahku. "Naik apa?"
"Angkot. Kenapa?"
"Oke," jawabnya singkat. Tapi aku paham jikalau gerak-geriknya memberi tanda bahwa dia juga ingin ikut bersamaku.
Langkah kami senada, bersampingan. "Lo gak bawa kendaraan ya?"
Dia hanya menggeleng sembari meneguk air mineralnya. "Terus naik apa ke sini? Lagian agak jauh."
"Jogging tadi."
"Serius?"
"Iya."
Aku tersenyum tipis, dia kuat juga, mengingat daerah Kafe tadi berjarak tak jauh dengan lapangan lari, namun kupikir dia memberikan awal lari dari rumah yang jauh untuk kemari.
Kami mensejajarkan langkah satu irama. Adimas nampak tenang tidak terganggu akan keheningan antara aku dengannya. Sayangnya aku tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, kuhela napas enggan juga membuka suara.
Kini kami tengah menunggu angkutan umum untuk menjemput kami. Semakin sore, angkutan umum semakin sepi. Adimas melirik bungkus roti yang kutenteng. Kubalas lirikannya, bingung.
"Apa? Mau?" Tanyaku.
"Enggak."
"Ambil aja," pintahku seraya menyodorkan roti itu kepada Adimas.
Adimas sebenarnya sudah menolak, tapi aku malah memaksanya. Kuselipkan bungkus roti itu ke tangannya.
"Gimana reuninya?" Tanyanya seketika.
Aku mengedikkan bahu. "Gak reuni sih. Kita tiba-tiba aja ketemu di sana."
Adimas mengangguk kecil. Lalu senyap lagi. Kulirik jam tanganku, "tumben angkot gak muncul. Apa karna kesorean ya...."
Sebuah mobil berhenti tepat di hadapan kami. Adimas mendekati mobil ketika kacanya diturunkan. Anak lelaki itu mengangguk kemudian menoleh ke arahku.
"Ayo," ajaknya. Aku mengernyit sejak kapan Adimas memesan kendaraan online.
Adimas menyusulku masuk, kami duduk bersampingan. Karena sunyi, aku hanya memandang ke arah luar. Sementara Adimas tengah memainkan ponselnya.
Tak lama kemudian mobil yang kami naiki memasuki lorong rumahku. Sesaat sebelum hendak kubayar kepada supir mobil kami, Adimas menghentikan pergerakanku. "Gak usah bang, nanti saya aja."
"Dim? Gak usah, nih uang gue patungan deh."
Sesaat sebelum aku yang bertingkah memaksa sama sesaat kuberikan rotiku kepadanya, Adimas memandangku seadanya namun terasa melebihi sebuah kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Fiksi RemajaAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...