TB&TV | Bagian 21

213 15 0
                                    

"Del anterin ibu ke tempat arisan, yuk?"

Tapi aku baru saja tiba dari sekolah. Benar-benar baru tiba dari sekolah dan ibu membuatku mendengus kesal saat baru saja duduk di kursi teras rumah. "Masuk kamar aja belom. Mandi apalagi."

Ibu melepas tasku usai kuleletakkan sepatu di raknya. "Aku belom mandi buuu ... males ih. Capek juga aku tuh," seruku memelas mencoba kabur dari dorongan ibu yang kini tengah menggeretku keluar rumah.

"Gak usah mandi. Kan anterin ibu aja."

"Tetep ajaaa. Badan aku udah lengket-lengket karna keringet. Gak bisa kalau gak mandi."

"Ayo dong dek. Kan kamu anternya pake mobil gak bakal ada yang liat."

Aku rasanya ingin menangis saja. Rumah ternyata jelas-jelas sepi karena Kinanta-- wanita pekerja itu belum juga pulang dan tentu ayah yang juga demikian sama halnya. "Iya-iya dehh. Adel ganti baju dulu."

"Ih gak usah ganti bajuuu!" Panggil ibu geram.

"Eeehh mana bisaa," balasku dari arah kamar yang pintunya telah kututup.

○●○

Sesampainya kami, ibu ternyata menjebakku dengan akal-akalan yang tak habis kupikir. Awalnya kata ibu aku hanya akan mengantarnya  tetapi kini berujung membohongiku dan malah memaksaku untuk turun dari mobil. Katanya, "Di rumah ibu gak masak loh Del. Sengaja biar kamu makannya di tempat arisan aja."

Aku bisa saja turun. Namun bentuk urakanku sekarang tengah berantakan kata lebaynya. Lebih tepatnya belum mandi dan masih mengenakkan rok abu-abu sekolah. Bukannya gengsi tuk keluar, tetapi tempat pertemuan arisan ibuku juga sahabat-sahabat SMA-nya di sebuah kafe yang pemiliknya secara kebetulan adalah salah satu sahabat ibuku sendiri. Mudah membayangkan bukan hanya perkumpulan ibu-ibu saja, di kafe itu sendiri banyak anak muda yang tengah besantai hingga larut sore. Aku enggan harus berdiri di tengah orang-orang banyak di saat keadaan seperti ini.

Aku memelas hampir saja air mataku keluar karena betapa mengesalkannya ibuku ini. Sudah berapa kali ibu mencoba menghubungiku tetapi berulang kali dengan sengaja kutolak dan karena telah tak terhitung berapa kali dan capek menolaknya, aku hanya membiarkan ponselku terus bergetar di jok samping kemudiku.

Aku memperhatikan ibu dari arah mobil yang sedari tadi memberiku kode untuk segera turun. "Inginku berkata kasar," ucapku dan aku pun memilih merendahkan jok kemudiku dan memejamkan mata selagi menunggu ibuku menyelesaikan kegiatan silahturahminya itu.

Aku berdecak saat ada suara ketukan memaksa yang kuharap saja akan menjebolkan kaca mobil ibuku sekarang. Seseorang di luar sana berusaha membuka mobil yang sudah jelas kukunci dari dalam.

Membuka mata sembari menghela napas hendak melihat yang kupikir itu mungkin saja ibu, dahiku mengernyit aku bahkan tak melihat siapapun di luar melainkan hanyalah sebuah tangan kecil yang menepuk kaca kemudi di sampingku menjiplakkan telapak jejak tangan kecilnya dari luar.

Bangkit hendak mengecek bocah di luar sana, anak berbaju jump suit jins dengan kaus kuningnya di luar itu mulai melambaikan tangannya kepadaku dan berkata, "Kak Adel, mami kak Adel manggil kak Adel."

Aku awalnya emosi tetapi mendengar kalimat anak kecil itu yang menyebut namaku berulang-ulang, berhasil membuatku tertawa gemas. "Yaudah iya. Mundur kakak mau buka pintu mobil nih," suruhku dari kaca mobil yang masih tertutup.

Anak itu menyengir dengan wajah semangatnya. Aku bahkan belum tahu anak siapa yang menyuruhku untuk turun namun, dia pasti salah satu anak dari sahabat ibuku. Baru saja beranjak turun, dia menarik tanganku untuk segera mengikutinya memasuki kafe.

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang