Hari kedua, seisi kelas setengah penghuninya sudah berdatangan. Yang menjadi pemandangan pertama ialah mereka mengerjakan sesuatu dengan begitu heboh.
Pantas saja sebelum aku menginjakkan kaki masuk ke kelas, dari teras kelas suara brisik menyapa hari. Teriakan panik alias terburu-buru membuatku mengernyit dan seusai menyimpan tas, aku pun menegur Indy, "kerja pr?"
"Eh Del. Iya biasalah wkwkwkwk." Indy nampak santai saja dia duduk manis tanpa menyadari ternyata aku sudah tiba di kelas sebab anak itu memainkan ponselnya.
"Oohhh...."
"Pr Fisika."
Aku meringis. Jujur saja, aku ini bukan anak yang pandai lebih tepatnya dikaruniai kelebihan dalam hitung-menghitung. Nenek, kakek, ayah ibu dan kakakku bahkan tahu jikalau aku sendiri paling lemot di bidang tersebut.
Setiap terima rapor, ibu dan ayah tidak pernah menyalahkanku jika aku sendiri mendapat nilai C di Fisika terlebih Matematika. Mereka seperti akan melangkahi dua mata pelajaran itu menganggap tak pernah ada.
Kata ibu, "ikut les, ya?"
Buru-buru kutolak dengan suara yang sedikit tinggi, "jangan bu, buang uang doang."
Sekalipun ikut les, aku makhluk yang takkan mampu menerima pelajaran itu sebab aku tak mencintainya.
Namun kata ayah sebaliknya. "Nanti tes akademik, semua itu gak bisa kamu hindarin loh dek."
Well, itu benar! Tapi aku masih menganggapnya santai.
Aku menggaruk rambut yang kebetulan terasa gatal. "Del, lo harus tau. Guru Fisika kita tuh, mau lo anak lama atau bahkan anak baru, lo tetep harus kerja pr. Sebenernya sih enggak, tapi yah baiknya ngantisipasi aja. Takutnya ntar dia ngedumel lagi. Ntar lo tau deh guru Fisika kita. Orangnya ribet."
"Serius lo?"
"Serius." Indy buru-buru merogoh isi tasnya lalu melemparkanku buku pr Fisikanya.
"Lo sekarang bawa buku kosong berapa?"
"Cuman 4," jawabku."
"Itu mah kurang. Lo belom tau roster ya?" Kuangguki Indy pun menunjuk jadwal mata pelajaran yang tertempel di dinding kelas tepat di belakang bangkuku. Aku pun mendongak lalu menjawab, "oke."
"Biasanya sih Dimas bakal nge-pc buat ngirimin foto jadwal pelajaran."
Spontan aku mendongak kala hendak menyalin pr yang tak kuketahui benar mengenai materinya. Dimas? Atau Adimas?
Buru-buru aku merubah mimikku enggan membuat Indy melihatku sedikit aneh sebab reaksiku kala mendengar nama yang disebutnya.
"Dimas?" Aku berlagak seperti tak tahu apa-apa.
"Ketua kelas kita. Emang dia bakal ngasih tau informasi sebelum lo-nya dikasih tau sama wali kelas kita."
"Oke, thanks infornya."
"Ha'ah. Buruan tulis ntar dia keburu masuk lagi. Belibet."
Terkekeh aku pun ikut tidak suka dengan guru yang belum kulihat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Novela JuvenilAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...