"Lo udah 17 tahun aja masih gaada gebetan."
Tentor mereka belum memasuki ruangan. Adimas yang pada saat itu mengeluarkan buku-buku latihan, dan catatannya hanya membalas, "kira-kira gitu."
"Pasrah amat Dim. Lo gak peka sih."
"Peka dia tuh. Apalagi ama lo."
"Ehh?"
Adimas menujukan mata pada semunya dua belah pipi di depannya ini. Dia hanya tersenyum tipis mendapati sosok ini yang selalu salah tingkah.
Teman-teman bimbingan belajarnya juga tahu, jika perempuan berkerudung putih ini memang menyukainya.
Mulai dari si gadis yang bernama Naura ini meminta menyelesaikan soal-soal kepada Adimas lewat via Whatsup, hingga Naura yang perlahan-lahan mulai berharap jika Adimas juga menyukainya balik.
Adimas tidak akan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada siapapun secara terang-terangan. Jika memang ia merasa terganggu akan harapan-harapan Naura yang terkadang berlebihan, Adimas tentu akan seketika mengatakan tidak pada anak perempuan itu. Namun semuanya masih di batas kewajaran.
Lagipula, pada posisi ini, Naura lah yang lebih dominan memperlihatkan ketertarikannya pada Adimas, dan tidak sebaliknya. Baiknya ia meladeni orang-orang seperti Naura biasa saja. Pas Intinya, di penghujung cerita ... takkan ada yang tersakiti.
"Traktir makan dong Dim," minta Putra.
"Besok," jawab Adimas.
"Seriuss?" Adimas mengangguki.
"Bawa gebetan dong Dimmm. Siapa tuh, Si Indy. Lo kan juga sering ngajak dia main bareng kita semua."
"Dia bukan gebetan gue, dia temen gue."
"Yah ujung-ujungnya juga, temen tapi pacaran wkwkwkwkwk."
Naura melirik Putra sinis. "Bisa gak sih mikir dulu sebelum ngomong. Gue ada di sini btw."
"Eh monmaap gue gak sadar."
Adimas hanya tersenyum seadanya menanggapi Naura.
○●○
"Gue cabut duluan Dim. Jangan lupa, traktiran lo besok ye," ucap Putra sembari memberi salam tangan khas mereka.
"Oke."
"Besok lo wajib bawa gebetan."
"Gue gak ada--"
"Bacot lo." Putra mengejek Adimas dan memberi kode kepalan tangan di udara saat anak laki-laki itu sudah berada di antara pintu kelas yang terbuka.
Adimas menggelengkan kepala saja meladeni. Memasukkan buku-buku bimbingan, catatan ke dalam tas sembari berjalan di koridor yang sudah menyepi, matanya tertuju pada Fajar yang juga baru saja keluar dari kelas sama sepertinya.
Fajar pun menutup pintu kelas usai menyadari Adimas yang hendak melewatinya.
Ketika akan menginjakkan kaki ke anak tangga turun, Fajar menghentikan langkah kaki di sana dengan singgungan, "apa lagi yang mau lo ambil dari gue?" tawanya sumbang terdengar.
Tidak sudi membalikkan badan, Adimas pun bersuara, "apa?"
"Adel?" Adimas menolehkan wajah ke belakang. "Dia gak ada hubungannya," lanjut Adimas.
"Gak ada hubungannya atau emang lo udah ditakdirin bakal selalu ngerebut apa yang harus jadi milik gue." Fajar berdecih tawanya terdengar sumbang mengejek.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...