Pagi ini, aku kembali berharap agar Adimas kembali masuk sekolah setelah dua hari harus mengizinkan diri di absen guru. Aku berpikiran Adimas masih larut dalam kesedihan dan mengenang bundanya. Sosial medianya tidak memberi tanda-tanda jikalau anak laki-laki itu tengah aktif. Nihil.
Di grub kelas, aku menanti-nantinya untuk mengirimkan stiker atau bahkan beberapa kata-- membuktikan jika dia memang baik-baik saja.
"Dek?" Ibu memunculkan diri dari pintu kamar yang awalnya tertutup tiba-tiba. "Itu sepeda kamu udah di halaman aja."
"Sejak kapan?
"Ooohhh ... iya kemaren aku gak pulang ke rumah tante Arin langsung ke rumah aja." Aku menyibak horden kamar, membuka jendela membiarkan udara pagi memasuki kamar.
"Berarti Kamu dah gak mau naik sepeda lagi pulangnya?"
Aku menggeleng. "Udah gak lagi bu."
"Lah kok? Katanya biar sekalian olahraga. Kamu ini gak komitmen deh."
Aku terkekeh memeluk ibu dan berkata dengan nada lebay, "iya aku udah males hehehe."
"Ihhh Ya Allah gini amat kamu ya. Dah-dah lepasin ibu. Sesakkk." Ibu mendorong tubuhku yang memang dengan sengaja kupeluk dengan erat karena gemas.
"Gak mau," kataku hendak memancing emosi ibu pagi ini.
"Kamu kenapa sih?"
Aku mengernyit segera melepas pelukan ibu. "Kenapa apanya?"
"Kenapa kemarin-kemarin punya niat sepedaan?"
Aku menghela napas mengontrol mimikku agar meyakinkan. "Bu, Allah itu selalu menaik-turunkan suasana hati umatnya. Jadilah aku kayak gini."
"Masya Allah ... menaik-turunkan dalam arti iman kita Adelll," bantah ibu.
"Yah samain aja bu." Aku segera mencium pipi ibu. "Adel berangkat dulu yaaa. Titip rapiin ranjang. Keburu telat soalnya!"
"Awas ya Del!"
Aku tertawa saja kala ibu menghardikku demikian. Jangan salah paham dulu, ibu tentu tidak marah dan dengan sikapku barusan, hanya bentuk kemanjaan yang sesekali kumunculkan ketika suasana tengah mendukung.
Masalah menghentikan niatku untuk kembali bersepeda saat pulang nanti, itu karena Adimas. Kini sudah kuputuskan agar menyetop niat konyolku tersebut. Aku menyadari kebodohanku ..., terlalu penasaran.
○●○
Beberapa anggota OSIS yang bertugas memeriksa atribut sekolah tepat di halaman usai kami memasuki gerbang sekolah, menghentikan langkah kami semua sebelum benar-benar dinyatakan bersih dari pelanggaran atribut.
Aku mah ... aman-aman saja berjalan dengan santai karena sadar sepenuh hati aku sama sekali tidak melanggar dalam artian tak kekurangan ataupun mengurangi dengan sengaja.
Salah satu anggota OSIS memberhentikanku untuk mengecek tali pinggang sekolah, papan nama, dan kaus kaki putih yang harus dikenakan sebab kamis batik.
"Mampussss!" Hatiku mencelos seketika saat baru sadar aku mengenakkan kaus kaki pramuka sisa kemarin.
"Kenapa make item?" Tanya anggota OSIS.
"Gue lupa," desahku sembari meringis.
Alhasil aku disisihkan ke kelompok murid yang melanggar.
Lima menit! Aku tidak bisa apa-apa dan harus menerima konsekuensi akibat kecerobohanku sendiri. Berniat menghubungi kakakku Kinanta agar membawakan kaus kaki putih, bisa saja namun membutuhkan waktu lebih lama dan pada akhirnya aku dinyatakan telat untuk pertama kalinya di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Novela JuvenilAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...