Memasuki rumah Adimas, kami beranjak mendekati dapur si pemilik berada. Pintu dapur itu tertutup, awalnya beberapa dari kami kira itu bukan dapur.
"Maklum ... orang kaya mah bebas sama beda ndiri."
"Bener-bener. Kamar gue kaga ada pintu eh dapur gue juga malah kaga ada pintu. Dia dua-duanya punya."
"Njirrr ngakak. Apa hubungannya."
"Lo aja yang kaga ngarti tumpul."
Kami semua cekikikan, membuat suara brisik yang jika salah satu menegur untuk diam, yang lain juga akan ikut bersuara sehingga sedikit ricuh.
Sarah adik Adimas mulai mengetuk pintu dapur. "Kak," panggilnya.
"Gue gak kunci," sahut Adimas. Tak lama kemudian ia pun kembali bersuara. "Tunggu." Maksudnya ia akan membuka pintu dapur.
"HAPPY SWEET SEVENTEEN!!! "
"What the heck! Adimas gua kaga pake atasan gengs."
Bukan, barusan bukan kaum hawa lebih tepatnya kami-kami perempuan yang bersuara, melainkan salah satu teman kelas kami yang mulai membuat lelucon.
Spontan kami-kami perempuan ada yang menutup wajah, berbalik, memalingkan wajah dan memilih memejamkan mata tak bergerak di tempat, contohnya seperti aku.
Aku sudah tidak lagi melihat ekspresi kaget yang sudah kutunggu-tunggu karena kejutan kami semua.
"Woeeeee pake baju ngapa!" Komentar teman-teman perempuanku sembari tertawa setengah mati sebab kami yang sama-sama merespon panik.
"Aduhh sayangkuhhh ... abs die sampe sebelas. Janinku bergetar-getar nih."
"Itu ganjil goblok. Mana ada orang punya sampe sebelas."
"Aw aw aw Adimasku."
Sumpah demi apa aku tertawa semati-matinya sampai napasku seperti sudah di ujung helaan. Teman-teman kelasku, selain bahasa gaulnya sangean ternyata juga homoan.
Kami semua pun memasuki dapur termasuk ruang makan Adimas yang berukuran cukup besar untuk menampung keseluruhan kami yang datang.
Adimas sudah mengenakkan baju kausnya yang sengaja ia lepas karena alasannya panas saat sembari menumis kangkung.
"Lo masak Dim?" Fatima bertanya sembari terkekeh.
"Gue coba ya," Salwa mencicipi tumisan Adimas dengan garpu.
"Ihh enak ihhh ... lo bisa masak rupanya Dim."
Adimas hanya mendengar ucapan teman-teman yang lain.
"Weh ANJER LILINNYA BELOM DITIUP! KITA LUPA NYANYI JUGA!"
Kami tertawa menyadari hal tersebut. Adimas terkekeh dan anak laki-laki itu pun beranjak mendekati Indy yang masih memegang kue tart ulang tahun Adimas.
Saat Adimas mendoakan dirinya, anak itu pun meniup lilin dengan bentuk angka 17 sesuai umurnya tersebut. "Selamat Dimmm!"
"Happy birthdayy yang ke 17 Dimm!!"
"Makasih banyak ya," ucapnya terdengar sangat tulus.
Dari arah ujung meja makan, aku memperhatikan semua wajah-wajah yang tak lagi baru untukku. Sifat-sifat yang berbeda dan begitu unik di masing-masing tubuh yang berbeda pula.
Rasanya terharu. Semuanya sangat kompak dan memahami satu sama lain.
Adimas menujukan mata padaku karena kebetulan aku yang berdiri seorang diri di belakang yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...