TB&TV | Bagian 16

227 20 8
                                    

"Bantuin aku dong," mintaku pada Kiera sembari mengulurkan tangan.

Kuhela napas saat telah berhasil menaiki rumah pohon. "Yang rusakin siapa sih?" Tanyaku dengan kesal berkacak pinggang memperhatikan tangga kayu yang dipaku pada badan pohon untuk membantu kami naik.

"Si gendut kali," jawab Kiera asal.

Namun saat itu kubenarkan. "Ya pasti rusak lah kalo dia yang naikin. Kan keberatan." Kami tertawa bersama duduk di rumah pohon memperhatikan pemandangan belakang perumahan tempat kami tinggal.

Sembari menjilati jariku yang bewarna oranye karena makanan ringanku, aku pun berteriak, "itu Adimas!"

"Woi gendut!" Kami menertawai  Adimas yang memandang kami dari bawah.

"Ngapain di sini?" Tanya Kiara kesal.

"Adimas! Lo ya yang matahin tangga?!" Aku melemparkan Adimas pecahan lantai yang selalu kami kumpulkan dan menghardiknya, "huuh dasar!"

"Ngapain ke sini sih?!" Tanya Wulan memainkan ketapelku yang telah diisinya batu untuk ditembakannya ke arah Adimas.

"Aku mau ambil botol air minum," jawab Adimas.

"Tembakin aja," suruhku pada Wulan bercanda.

Aku pun membalikkan badan mencari-cari barang yang dimaksud Adimas. "Gak ada tuh."

"Ada," kata Adimas.

"Cari aja sendiri! Ngapain sih suruh-suruh. Sini naik, ntar gue dorong hahahahahaha." Aku menjulurkan lidahku keluar meledek Adimas sembari membalikkan badan menggoyangkan pantatku ke arahnya.

"Adel, nih botol minuman dia." Wulan memberiku botol air minum bewarna biru milik Adimas.

"Ini botol air minum lo?" Adimas menganggukiku dari bawah. "Lo ya yang matahin tangga?!" Tanyaku sembari mengancang-ancang botol air minuman Adimas untuk kulemparkan padanya.

"Iya gak sengaja," jawabnya.

"Ooooooo ternyata elo! Gak bakal gue kembaliin. Rasain!" Aku menatap sinis si gendut di bawah sana.

"Kembaliin dong," mintanya dengan pelan. Adimas memegang tali tasnya sembari menatap kami polos.

"Noh!" Aku melempar seketika botol air minuman Adimas dengan sembarang dan tak sengaja mengenai batu yang membuat badan botol itu retak.

Adimas mengambilnya tanpa melawan dan isi air botol minumannya menjadi bocor. "Gak sengaja," sahutku santai dan mengedikkan bahu tidak perduli.

"Sana, sana pulang!" Kami pun mengusir Adimas dan anak gendut tidak berdaya itu beranjak pergi dengan wajah yang murung.

Karena enggan salah satu dari kami dilarang bermain hari ini, jadi aku, Wulan dan Kiera memutuskan seusai pulang sekolah langsung bermain di rumah pohon kami. Lebih tepatnya sebuah rumah pohon yang berada di taman bermain perumahan kami tinggal.

Beberapa menit setelah Adimas meninggalkan kami, Wulan berteriak memberitahuku dan Kiara jika bunda Adimas sedang menuju rumah pohon kami. Seketika itu juga aku menggendong tas sekolahku dan kami buru-buru menuruni rumah pohon untuk kabur.

Sebelum kabur aku yang saat itu memastikan jika apa yang dikatakan Wulan benar, dari jauh kulihat bunda Adimas berjalan mengarah kami berada bersama Adimas yang menangis selama perjalanan.

"Dia ngaduin ke bunda dia, buruan kabur." Sembari menunggu dua temanku turun, aku jadi histeris sendiri.

"Kaburrr!" Kami berteriak kala bunda Adimas sudah jelas mendapati kami.

Entah apa yang dikatakan bunda Adimas, saat melarikan  diri dan menoleh ke belakang, ibu Adimas mengusap pipi Adimas agar tidak menangis. Dan kala bundanya menujukan mata ke arah kami berada, aku seketika membalikkan wajah dan terus berlari.

Mengingat salah satu hal yang masih membekas pada masa kecil kami, aku merutuk dalam hati. Mengapa ada bocah perempuan sepertiku yang setega itu.

Di pelajaran Fisika, guru kami yang tengah menerangkan, aku menyunggingkan senyum sendiri di belakang. Lucu jika harus mengingat sosok Adimas dan aku yang dulu.

Senyumku lantas menyirna saat sadar sosok Adimas tidak datang sekolah senin ini.

Kugelengkan kepala mencoba menghilangkan Adimas dari kepalaku dan mulai mencatat contoh soal yang dikerjakan oleh guru fisikaku di depan.

Saat tengah mencatat, ponselku bergetar di atas meja. Kakakku Delina menelpon.

"Maaf Bu, saya boleh terima telepon dulu?" Tanyaku segera pada guru fisika kami yang terkenal galak ini.

Di sela mengharap beliau mengizinkan, beliau pun menjawab, "iya boleh."

Aku pun dengan segera keluar kelas lalu menyandar di dinding luar kelas. "Halo Assalamuallaikum?"

"Sekarang fisika, teleponnya abis istirahat aja," ujarku kala Delina belum menjawab salamku.

"Dek?"

Aku menghela napas. "Apa?" Mataku tertuju pada anggota OSIS yang mulai memasuki tiap kelas, membawa kotak kardus yang sudah kutebak tengah meminta sumbangan.

"Bunda Adimas ... meninggal dunia."

Saat itu juga rasanya aku tidak memijak di tempat.

Pandanganku seperti tak tertuju di manapun. Degup jantung  berdetak begitu kencang. Seperti tersetrum listrik, darah kurasakan mengalir hingga ke ubun-ubun kepala.

"Innaillahi wainnaillahi rojiun," ucapku begitu pelan.

Aku membungkam mulut syok. Aku tidak bisa mengeluarkan air mata sekalipun rasa sedih mengerubungiku. Saat itu juga wajah Adimas terlintas di pikiranku. "Kakak udah di rumah Adimas bareng ibu, melayat."

Aku menggelengkan kepala masih tak percaya. "Kapan kak?"

"Subuh tadi, dan baru dipulangin di rumah Adimas," jawab kakakku parau. "Doain bunda Adimas ya dek."

Aku mengangguk mendekap diri. "Iya kak."

"Yaudah dek. Assalamuallaikum."

"Wa-waalaikumussalam."

Aku beranjak masuk ke kelas dengan perasaan yang begitu kehilangan. Beranjak duduk, aku menatap papan tulis kosong.

Dan tak lama kemudian anggota OSIS pun memasuki ruangan, meminta izin untuk mengambil waktu pelajaran kami beberapa menit.

Aku menatap mereka dan berkata dalam hati, "ini udah pasti ..., bunda Adimas."

"Assalamuallaikum warahmatullahi wabarokatuh."

Kami membalas salam mereka dan perwakilan mereka pun melanjut, "innaillahi wainnaillahi rojiun. Telah berpulang Ibunda tercinta rekan kita, Adimas Fabian Adiatma...."

Aku memejamkan mata meneteskan air mata.

Semua kelas sontak syok mendengar berita yang teramat mengejutkan kami semua.

Aidan menoleh kepadaku dan aku pun hanya bisa tersenyum tipis dan menggelengkan kepala tak tahu harus berbuat apa.

Adimas meninggalkan kami semua sebelum pengunguman kemenangan mereka diumumkan untuk menemani bundanya yang semakin parah, itu pasti.

Dan senin ini, anak laki-laki itu tak lagi datang untuk menemani ibunya yang keterakhir kalinya.

•°°°•

To Be Continued....

Nj

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang