Awalnya mobil Adimas brisik dan terasa ramai kala Indy masih bersama kami. Anak perempuan itu memutar segala lagu yang ia sukai dan menjadikan mobil Adimas sudah seperti karoke berjalan. Aku jadi terbawa suasana dan lebih nyaman juga santai. Namun, ketika Adimas telah sampai mengantar Indy ke rumah, isi mobil menjadi canggung, hening.
Tak ada lagi lagu-lagu pop western kesukaan Indy yang mengiringi perjalanan kami. "Bye guys. Makasih Dimm, bye Dell."
Keluar dari komplek perumahan Indy, Adimas pun tak mengeluarkan kata-kata untuk setidaknya memecah atmosfer kecanggungan yang mengurungi kami berdua. Lebih tepatnya aku saja.
"Kacanya gue buka ya?"
Adimas menurunkan suhu AC mobil sembari menganggukiku. Merasakan udara secara langsung seolah memberiku ruang lebih untuk bernapas. Setidaknya aku bisa mendengar suara bising sekitar daripada tak mendengar apapun saat kaca mobil tertutup.
Aku bukan seseorang yang bisa membuka percakapan dengan baik. Terlebih di posisi seperti ini.
"Eh Btw," aku batuk memperbaiki suaraku saat mulai berkata demikian. Aku hanya memaksa diri saja.
Adimas hanya menoleh sekilas ke arahku dan kembali meluruskan pandangan ke depan. "Gue kok gak tau kalau lo punya adik?"
Senyum Adimas setidaknya membuatku merasa di posisi yang benar sekarang. "Emang gak tau?"
Aku memperbaiki duduk. "Iya serius."
"Kenapa gak tau?"
"Gak pernah liat aja." Aku tak lepas menatap belah pipi Adimas. "Serius sama sekali gak pernah."
"Gini ya. Setahu gue lo anak tunggal. Dulu kita sekomplek kan? Coba jelasin kenapa gue gak pernah ngeliat adik lo itu?"
Adimas tertawa pelan. "Pertanyaan bagus."
"Nah kan," sungutku.
"Sarah dan gue beda setahun. Karena rapat, nenek amanin Sarah dulu," jelas Adimas sederhana.
"Lo kan abang. Masa Sarah yang tinggal bareng nenek lo, Dim?"
"Bokap gak mau lepas gue aja." Adimas menoleh ke arahku, melirikku sekilas. "Jadi begitu."
Aku terdiam memikirkan sesuatu yang belum bisa kuterima dari penjelasan Adimas. Jadi kembali kutanya, "gak mungkin kan gue gak ngeliat dia sampe sd kelas 6?"
"Itu mungkin." Adimas membelokkan stir mobilnya. "Kita emang gak se-sd sama Sarah."
"Setelah kita pindah aja, gue pun akhirnya se-smp sama dia di Malang. Karena kita berdua harus ikut nyokap bokap. Udah beda kota dan Sarah gak bisa ditinggalin."
"Aaaahhhh gitu toh." Aku mengangguk-anggukkan kepalaku berlebihan karena akhirnya aku mendapat jawaban langsung dari mulut Adimas.
"Iya." Adimas tertawa pelan. "Nenek juga gak mau lepas Sarah. Nyokap bokap dan gue aja yang sering ke rumah nenek. Itupun sekali sebulan atau lebih. Bahkan saat lebaran aja kalau ketemuan."
"Wah parah," komentarku.
"Parah apa Del?"
"Bisa gitu yak. Maksud gue gitu." Adimas tertawa pelan mendengar jawabanku.
"Ya bisa lah."
Aku baru tersadar Adimas memberhentikan mobilnya di daerah perumahan yang tak kuketahui. Menoleh ke arahnya dengan wajah bingung, Adimas pun menjawabku, "jemput Sarah."
"Oh." Aku mengulum bibir melirik ke arah spion menunggu sosok adik perempuan Adimas keluar dari sebuah rumah yang kutebak rumah temannya.
Melihat Sarah keluar, tak bisa kupungkiri Sarah sangat-sangat cantik. Tubuhnya tinggi lebih dariku. Kulitnya putih bersih dengan hijab putih sekolah yang ia kenakan. Menambah kemiripan cerminan sosok bunda mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Ficção AdolescenteAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...