TB&TV | Bagian 39

146 15 2
                                    

Pano - Zack Tabudlo

"Oh, Dear do you hear yourself? What comes out of your mouth drive me crazy."

•••

Enaknya makan apa ya? Sahutku dalam hati sembari menggulir layar ponselku yang jelas baru saja memberikan pemberitahuan jika energinya tak lama lagi habis.

Aku yang beberapa detik kemudian mengambil cas ponselku di dalam tas selempang, seseorang dengan percaya dirinya entah darimana menggeret bangku kosong di depanku.

Mimik wajahku berubah kebingungan sekaligus kaget setengah mati setelah menyadari siapa sosok yang sudah berada di hadapanku ini.

"Maaf, saya ganggu kamu."

Cara bicaranya kembali mendobrak belenggu move on-ku yang sudah kukubur sedalam-dalamnya.

Anak berkulit eksotis di hadapanku ini, asalnya bukan dari Ibu Kota. Dia sudah hampir 4 tahun tinggal di sini, tapi logat dan bahasa yang cukup bakunya itu masih diaplikasikannya kepadaku. Anak dari pulau Sulawesi ini memang begitu menawan terlebih rupa khas anak timur yang kulitnya tidak sengaja dibakar oleh matahari, namun kulit eksotisnya itu murni dari genetik.

"Kok bisa tau gue di sini?"

"Kebetulan lewat di depan."

Aku menghela napas kasar sengaja memperlihatkan ketidaksukaanku. "Gue gak maksud ngusir, tapi please kita gak usah ketemu lagi."

"Maaf Adel, karena saya kamu pindah. Mau bagaimana lagi caranya supaya kamu bisa percaya dengan saya?"

"Maksudnya?"

"Saya sudah menghadap kepala sekolah. Beliau bilang kamu pindah karena keinginan orangtuamu." Dia menaruh lengannya di atas meja sedikit serius. "Adel saya gak diam aja saat itu. Saya sudah bicara sama Tessa, konsekuensinya dia tidak ada lagi dalam organisasi sekolah."

"Maaf kesalahpahamannya. Gue paham kok lo orangnya kayak gimana." Aku menghela napas. "Udah lah yah, lagian gue bukan anak Pelita lagi."

Aku menopang pipi menghadap kaca Kafe, melihat orang-orang di sekitar enggan membalas tatapan sosok Fajar.

Menyisir satu per satu masyarakat yang bisa ditangkap olah mataku ini, siluet sosok yang tak asing secara otomatis tertuju padanya.

Adimas mendapatiku dari seberang jalan. Buru-buru aku dengan kakunya menutup belah pipi kananku seolah-olah tidak melihat apa-apa. Kubuat senatural mungkin.

"Jadi, gimana kegiatan di sekolah?" Tanyaku mengubah topik

"Lancar, hanya sibuk persiapan seleksi untuk adik kelas."

"Ngelatih yah?"

Fajar mengangguk tersenyum tipis, "iya. Kamu bagaimana?"

"Gak ada kegiatan, sama kayak di Pelita."

Senyuman Fajar menular padaku alhasil aku terkekeh.

"Mau makan apa, Del? Ayo pesan, biar saya yang teraktir."

Dudukku menegap spontan ketika mendapati Adimas sudah berdiri di belakang Fajar. Anak laki-laki itu mengenakan pakaian sport-nya nampaknya sehabis jogging dan sudah pendinginan sebab kemerahan di wajahnya mereda.

"Fajar?"

Fajar langsung menoleh ke belakang dan memberi salaman khas anak laki-laki kepada Adimas.

Apa aku sedang halusinasi? Bukankah dua anak laki-laki ini musuh bebuyutan? Pernah menyalahpahami satu sama lain akibat penempatan pengibaran bendera nasional yang diluar ekspetasi bagi seorang Fajar terutama.

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang