TB&TV | Bagian 25

167 19 1
                                    

Tak ada habisnya aku menggerutui mesin print yang sedari tadi menyusahkanku. Kalau bukan hasil cetakannya buram, maka dicetakan berikutnya menjadi berantakan, warna ketikan yang tidak rata dan segala hasil yang tidak sekali dua kali akan kumaki.

Awalnya kupikir karena posisi kertas yang salah. Dan tidak juga. Aku saja yang tidak berpikir jika tinta printer yang memang bermasalah.

Kinanta menepis tanganku setibanya ia memasuki kamarku.

Ia berdecak. "Kasar banget sih jadi cewek."

"Noh, noh nyusahin aja. Itu gue besok mau presentasi Ya Allahhh!" Aku menghardik sembari kutunjuk-tunjuk mesin cetak itu.

"Presentasi apaan sih." Dan akhirnya helaan napas ia hembuskan. "Tintanya udah mau abis, karna itu bermasalah mulu."

"Tinta item doang sih. Bisa nih, pake yang biru," lanjutnya

"Mana ada pake tinta biru."

"Gue cuman kasih tau jalan doang. Lagian presentasi mapel aja kan?"

"Yakali." Aku buru-buru memindahkan file tugas ke flashdisk.

Menenteng tas usai mengenakkan hoodie, Kinanta bertanya, "mau ke mana?"

"Nge-print tugas." Sebelum benar-benar kututup pintu kamar, aku pun kembali bertanya, "mau anterin gue gak?"

Kinanta memutar bola matanya. "Ogah."

Begini nih, kalau punya kakak yang tidak ada rasa kasihannya sedikit pun dengan adiknya yang satu ini.

Alhasil, berhubung tempat photocopy yang tidak terlalu jauh dari komplek, aku hanya perlu naik sepeda sampai ke tujuan.

Sialnya, 10 meter hendak tiba ternyata langganan photocopy-ku tutup. Tidak biasanya mereka tutup di jam-jam yang terbilang belum larut malam. Kulirik jam, masih menunjukkan pukul 19:50.

"Adel."

Aku mengernyit saat menengok ke samping. "Hei, gue gak nyangka bisa ketemu lo di sini."

"Bisa bicara bentar gak?"

Aku menaikkan alis, bukan menantang aku hanya berusaha memperbaiki ekspresi seolah aku memang tidak terkejut.

"Kenapa lo keluar malem-malem gini?"

"Print tugas. Tapi udah ketutup, jadi gue mau pulang sekarang."

Saat hendak kubelokkan stir sepeda memutar untuk pulang, Fajar berusaha menghentikanku. "Del, tunggu."

Ia turun dari mobil.

Suasana ini terlalu canggung. Jadi, dengan sengaja kukerutkan dahi menjadi sedikit serius.

"Lo ngehindarin gue barusan?"

"Maksud lo?"

"Gue baru bicara dikit dan lo udah mau ninggalin gue gitu aja?"

Kuhela napas kakiku sudah siap menekan pedal sepeda dan bisa saja meninggalkan Fajar sekarang. "Perasaan lo aja kali," jawabku.

"Lo gak kayak gini sebelumnya."

"Maksudnya gue berubah gitu?" Aku menatap mata Fajar yang terlihat prihatin.

"Lo seharusnya gak pindah Del," tuturnya. Fajar berbicara denganku dengan nada rendah, selalu saja seperti itu dari dulu hingga sekarang.

"Gue juga gak mau. Tapi ini pilihan nyokap bokap gue. Jadi gue harus apa?" Aku semakin mengernyitkan dahi. "Udah yah, gue mau pulang."

Saat dua tiga kayuhan sudah meninggalkannya dari belakang, Fajar berkata, "gue masih suka sama lo Del."

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang