Semester dua akan berakhir-- ulangan tengah semester, lalu akhir semester, dan dengan terpaksa aku keluar dari sekolah.
Tunggu dulu, kami berdua tidak dikeluarkan. Namun, ibuku memutuskan untuk memindahkanku di sekolah yang lain. Terdengar sudah seperti pecundang memang, itu sendiri bukan gayaku. Tetapi ibu berkata, "bukan berarti kamu lari dari kesalahan. Ibu hanya gak mau kejadian hal yang sama terjadi lagi. Kita cuman mencegah aja."
Aku menangis sehari sesaat kejadian heboh yang kulakukan di sekolah saat menuju ke rumah. Ibu tidak marah padaku sebab banyak hal yang sudah kuceritakan pada ibu. Banyak orang yang tidak menyukaiku dan lucu saja mendengar kala tahu alasannya. Tak perlu kusebutkan, intinya mereka merasa iri. Juga beberapa orang yang memiliki sifat: baru saja melihat orang lain, seketika membencinya tanpa alasan. Dan mereka melakukan hal itu.
Ayah tidak memihak juga tidak menyalahkanku. Ia berusaha memberikan nasihat terbaik yang sebelumnya belum kudengarkan dan setelah itu, aku menangis hingga lelah dan tertidur hingga kepalaku pening tak mampu menutup mata lagi.
Sementara ayah ibu mengurus kepindahanku dan menunggu waktunya memasuki sekolah baru, itu berarti aku sudah tak perlu lagi untuk kembali masuk ke sekolahku yang lama.
Pusing dan panas rasanya seusai telah sembuh dari rasa sakitku, aku kembali mendapati banyaknya singgungan dari akun-akun para kakak kelas yang dulunya kuikuti. Akhirnya bukan lagi ku-unfollow, melainkan memblokirnya dan mengunci akun Instagramku. Aku mencoba agar tidak menggunakan sosial media dan beralih memainkan laptop mendengarkan lagu, nonton film dan lain-lain di sana.
Kini telah dua minggu, lusa depan tepat di hari senin, aku akan memasuki sekolah baruku.
"Assalamuallaikum! Halo Del?!"
Aku diam sejenak memberi rasa penasaran kepada Tasya namun anak itu lalu berteriak di telepon. "Adel! Ya allah, plis lah yah kok lu diem aja?!"
Kuhela napas dan akhirnya menjawab," waalaikumussalam."
Kudengar tangisan lebay Tasya yang merengek. Aku tahu Tasya memang sedih namun gadis itu berusaha untuk tidak membawa suasana oleh karena itu suaranya ia buat seperti merengek. "Demi apa lo?! Baru aja lu angkat telp gue?" Dengusnya kasar. "Lo ke mana aja anjir!"
"Gak ke mana-mana...," ucapanku menggantung, mengalihkannya. "Udah denger berita?"
"IYA! Ape lu? Gue udah denger bang-- ish parah lu ya...." Terdengar Tasya menghentak-hentakkan kakinya dan memukul sesuatu yang keras sebab kesal padaku. "Lo gak ngehubungin gue, gak dateng sekolah ..., absen berhari-hari dan pada akhirnya lo ternyata udah ngurus mau pindah?"
Aku diam saja mendengarkan tinggi nada suara Tasya yang jika bertemu langsung padanya sudah kupastikan anak itu akan menarik rambutku sebab terlampau kesal. "Lo gak seharusnya pindah Adel. Gue udah gak punya temen lagi," ucapnya kini merendah seperti frustasi.
Aku rindu semuanya, jujur. Tapi setelah banyak hal yang terjadi dan dua minggu lalu menjadi puncak akhir, untuk kembali datang ke sekolah sama saja kembali ke mimpi buruk.
"Jangan lebay," tegurku dengan kekehan.
"Iya gue tau gue lebay. Jangan bikin gue ngomong kasar please."
Aku akhirnya mendengar isak Tasya yang tertahan. "Lo bakal ninggalin kita sekelas."
"Gue gak mati anjir."
Tasya tertawa kencang dan akhirnya sahabatku itu menangis. "Gue lagi gak bercanda! Gue kesel banget sama lo Adel...."
"Lo nitip pesan sama Nina kalo lo gak mau didatangin. Gimana sih?! Gue coba buat ngehubungin lo tapi sering gak aktif dan kalo aktif, lo gak angkat. Kalau enggak? Malah lo matiin. Lo kenapa sih?"
"Oke, sorry kalo waktu itu gue gak ada pas kejadian. Kita semua dilarang keluar kelas buat ngintip lo di ruang kepsek. Gue kesel sama Bu Sari anjir!"
Seketika aku tertawa.
"Bangsul ketawa aja lu!"
"Sorry Tasya."
Tasya menghela napasnya. "Pas guru yang laen ngabsen, sekarang lo udah kita bilangin ke guru kalo lo udah pindah."
Aku mengusap air mata di sela aku menyengir. "Yah gak usah diceritain juga."
"Ya Allah, pengen banget ya gue berkata kasar."
Tak kusangkal, rasanya sedih ketika akhirnya kami tertawa lagi.
"Jadi...," ucapku.
"Jadi kapan lo masuk sekolah baru lo?"
"Lusa, senin depan."
"SMA 3, kan? Negeri dong?" Tasya menertawaiku, jahil.
"Iya, udah gak mampu bayar uang bulanan SMA Swasta Pelita Kartini, mahal banget." Aku mengerucutkan bibir kesal, bercanda.
Sekolahku yang lama adalah sekolah Swasta yang di mana tentunya fasilitas bangunan juga pembelajaran amat baik dan elit. Namun kupikir sekolah berlama-lama di sana, tidak akan membuatku betah sebab murid-murid kebanyakan di sekolahku amat menjengkelkan. Juga mereka bukan tipe-tipe manusia yang kusukai terkecuali teman sekelas dan sahabatku Tasya. Sekalipun aku memang mampu, batin dan mentalku selalu menjadi korbannya.
"Yah sama aja. Negeri juga, kan? Udah bayar uang di tiap semesternya."
Aku memutar mata. "Ya seenggaknya gak semahal PK." Yang kumaksud Pelita Kartini, sekolahku yang lama.
"Malam bentar malming. Keluar mau? Please ... gue pengen ketemu," minta Tasya merengek.
"Gak malam ini, maap. Besok aja ya, ke mall?"
Kudengar Tasya mendengus sebal. "Oke besok. Gue jemput, oke?"
"Iya."
•°°°•
Aloha? Bagian dua berakhir dengan drama antara kedua sahabat. Kalau kalian berkenan, berikan komentar juga bintang jika suka. See you di bagian ke 3!
Nj
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Novela JuvenilAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...