TB&TV | Bagian 10

330 28 4
                                    

Aku membatalkan niatku. Jika di awal-- tak menghadapi langsung sosok Adimas, sungguh besar keberanianku. Banyak strategi yang kupikirkan untuk berbicara dengannya lagi.

Namun kini?

Melihatnya langsung-- mata kami bertemu sesekali dan ia membuang pandangan aku lagi-lagi keki dibuanya.

Seperti tidak diterima lebih tepatnya menghindariku.

Khawatir saja jika cara ia melihatku sudah seperti itu, bagaimana dengan mengajaknya berbicara berusaha menjalin hubungan pertemanan dengannya? Kemungkinan Adimas akan memberikan ekspresi mengernyit, matanya semakin menyalang membalasku. Mengingat banyak hal yang telah kuperbuat padanya saat SD dulu,  lalu akhirnya ia mengucapkan kata-kata demikian, "lo inget gak apa yang lo udah perbuat? " Saat itu juga jika bisa akan kukubur tubuhku hidup-hidup.

Salah juga jika berpikiran seperti di atas. Susahnya, bagaimana cara mengusir pikiran buruk tersebut.

Kupandang punggung Aidan dan Adimas yang keluar bersama dari kelas. Mungkin, kubatalkan untuk hari ini. Masih ada hari besok, dan besok-besok yang lain.

Karena jadwal piket yang jatuh pada hari rabu, kelas kami memang selalu menyapu di hari sore sebelum keesokan harinya jadi sesampainya di sekolah, kami tidak repot-repot lagi harus membersihkan kelas di pagi hari.

Mengelap kaca kelas, Indy tiba-tiba muncul dan memasukkan sebuah kertas bergrafik di kantung seragamku. "10 k," katanya kemudian.

"Oke, gue beli nih. Tapi ... ada tapinya."

"Ape?"

"Tapi gue gak bisa dateng, maaf ya."

"Lahhh!"

"Sorry," maafku lagi.

"Ini bazar pertama buat elo, Del. Please dateng dong. Aidan aja dateng." 

"Nih liat." Indy menunjuk salah satu daftar pertunjukkan. "Nih lo bisa liat, Band Aidan juga mau tampil."

"Pokoknya gak bisa," tekanku.

"Emangnya kenapa gak bisa?"

"Gak diizinin."

"Yang bener? Bohong lu, kan?" Indy menunjukku sembari mengerucutkan bibir tak percaya.

"Yah mau gimana lagi. Udah dari zaman bahula." Aku menepuk-nepuk bahu Indy dengan wajah berpura-pura sedih.

"Gue jemput deh...."

"Jangan lah. Gak usah."

Indy menghentak kakinya di lantai kelas dengan kesal. "Ikut, lo harus ikut. Pokoknya ikut."

"Malam sabtu?" Aku melihat jadwal tanggal yang ditetapkan.

"Ho'oh. Bisa, kan?" Indy memelas.

"Tetep gak bisa, hehehe."

"Au ah sebel nih gue!"

"Harusnya lo tuh ikut. Temen-temen yang lain juga pada ikut." Aku hanya mengedikkan bahu.

Teman-teman sekelas kami akan ikut meramaikan sebab tentu karena paksaan Indy dan  dukungan Adimas sebagai ketua kelas. Kiranya seperti itu.

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang