TB&TV | Bagian 29

148 16 4
                                    

Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control.

___

Baru saja kupijakkan kaki memasuki restoran, jelas saja mataku tertuju pada seseorang yang satu-satunya kukenal di sana.

Kuhentikan langkah kakiku di saat semua teman Adimas telah mendapatiku akan bergabung di meja yang sama dengan mereka. Dan secara alami, aku membalikkan badan reflek hendak meninggalkan restoran kembali ke mobil terparkir.

Adimas yang baru saja hendak menyusulku mendapatiku kembali ke arahnya tak lama kemudian.

Ini aneh. Aku tahu, baiknya aku tidak seberlebihan ini. Sayangnya, kembali melihat Fajar sama saja mengembalikan ingatan-ingatan buruk yang kualami saat masih bersekolah di Pelita Kartini juga harapanku dulu padanya.

Dengan hanya memandangku tanpa bertanya, Adimas berkata, "biasa aja, Del."

Jantungku berdegup begitu kencang merespon akan suasana yang penuh omong kosong dan penuh kekanakan yang kurasakan sekarang.

"Masuk aja." Suara Adimas menuntunku untuk setidaknya kembali berpikir jernih di depan semua orang di dalam, teman-temannya.

"Ayo."

Aku mengekori Adimas dari belakang dan karena paham, Adimas seperti menutup-nutupi tubuhku agar aku masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki suasana hatiku.

"Dim!!!" Seruan beberapa dari teman-teman Adimas membuat kami segera menuju ke meja yang telah diisi.

"Indy?"

Aku tersenyum seadanya ke beberapa wajah baru.

Adimas menggeleng. "Bukan. Ini Adel, temen gue juga."

Mereka ber-oh ria dengan antusias dan dengan sama halnya aura yang kuberikan sebagai kenalan baru, ramah dan terbuka.

"Oooh namanya Adel. Salam kenal ya Del?" kubalas salah satu jabat tangan dari mereka dan yang lainnya pun menyusul.

Harusnya aku menjabat tangan Fajar tetapi, dengan rapi Fajar memandangku saja sekalipun ia memberikan ekspresi yang sama seperti yang lainnya.

"Kasian Naurapunya saingan baru nih."

"Wah parah Nar."

"Naura nangiddd guys."

Suasana cukup membingungkan di saat-saat aku dan Adimas belum mengambil posisi untuk duduk di antara mereka semua.

Adimas memutari meja panjang restoran memilih duduk di samping Naura dan aku yang duduk di depan keduanya dengan meja yang membatasi.

Aku awalnya paham jika anak perempuan bernama Naura ini tengah digombali dengan yang lain tentang hubungannya dengan Adimas. Aku tersenyum saja memandangi tingkah Naura yang salah tingkah kala Adimas meminta untuk duduk di dekatnya dan saat sebelum duduk pun, Adimas menyentuh bahu Naura seperti mengkode, agar anak perempuan itu untuk tenang juga tidak meladeni teman-teman mereka yang memang jahil.

Mataku bertemu dengan milik Adimas. Karena harus menahan tawa akan sikap Naura yang menggemaskan, aku hanya menggelengkan kepala.

"Lo Adel, kan?" Kuangguki salah satu pertanyaan itu. Awalnya kupikir mungkin ia hanya akan memastikan namaku tetapi tidak sesuai dengan kuasumsikan. "Lo bukannya dengan Fajar pacaran?"

Apa hanya sedang sial saja, ludah yang harusnya kutelan dengan mulus terasa berat di tenggorokan.

Hening. Mayoritas dari mereka yang kuduga tak mengetahui apa yang diketahui salah satu teman Adimas ini, bereaksi dengan ekspresi syok mereka.

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang