Hari ini Lisa pergi ke rumah orang tuanya untuk mengambil beberapa barangnya yang tertinggal.
Ia diantar dengan Jimin, namun laki-laki itu tidak bisa mampir karena harus mengurus beberapa urusan di kantor yang harus ditangani sebelum mengambil cuti untuk liburan dengan Lisa selama beberapa hari.
Meskipun ia dan Lisa menikah hanya sebatas status, mau tak mau ia harus pergi berlibur atau biasa orang-orang katakan 'honeymoon' untuk pengantin baru.
Mereka melakukan itu juga sebagai formalitas. Agar dianggap seperti menikah sungguhan. Padahal, mereka sama sekali tidak berniat untuk melakukannya.
"Luna. Stop. Biar aku aja," Lisa mendekat menghampiri Luna yang kini sedang mencuci piring bekas sarapan di wastafel. Ia mengambil alih piring-piring kotor dari tangan Luna. "nanti tangan mahalmu kotor."
Di sisinya Luna menghela menatap piring yang berada di genggamannya kini direbut oleh Lisa. "It's okay, Lis."
Lisa tidak mendengarkan, ia malah terus melakukan aktivitasnya. "Mending kamu duduk aja di sofa. Semuanya biar aku yang beresin."
Mendengar itu, Luna terdiam menatapi Lisa yang sepertinya menghindari kontak mata dengannya.
"Lis." Luna menatap punggung Lisa.
Adik kembarnya tidak banyak berubah, hanya rambut hitamnya yang dulu di bawah telinga kini sudah panjang melewati bahu. Penampilannya masih kasual dan terkesan sederhana. Serta tetap terlihat cantik tanpa polesan make up berlebih.
Berbeda dengan Luna yang kini memakai dress selutut tanpa lengan. Membuatnya terlihat lebih feminim.
"Ya?" sahut Lisa.
"Semenjak kita SMA dan pisah," Luna memberi jeda untuk berpikir. "aku merasa hubungan kita renggang. Kita jarang tukar kabar, jarang ngobrol."
Perkataan Luna membuat Lisa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi. Dengan samar Lisa tergelak menyunggingkan senyum.
Dalam hati ingin rasanya Lisa berteriak. "Sejak kapan kita akrab? Dulu kamu dekati aku pun kalau ada maunya doang, di depan Daddy. Di sekolah pun kamu malu punya kembaran bodoh kayak aku, Luna."
Lisa tidak bersuara sedikit pun, ia menunggu ucapan kakaknya itu. "Aku ngerasa kita kayak orang asing. Aku benar-benar merasa gak mengenali saudara kembarku sendiri dengan baik," ucap Luna sendu. Tatapannya jatuh pada kuku kakinya yang di cat merah muda.
Lisa menyelesaikan kegiatannya kemudian memutar badan menghadap Luna. Saudara kembarnya itu kembali buka suara. "Maafin aku ya Lis. Aku gak bisa menerima perjodohan itu."
"Semuanya sudah terjadi," Sebisa mungkin Lisa menatap manik kelabu Luna. "kamu fokus ngurus perusahaan dan karir aja. Kan itu kemauan Mommy. Iya,'kan?" seru Lisa menaikkan sebelah alisnya.
Tepat setelah perkataan itu terlontar, bola mata Luna melebar. Ucapan Lisa mampu menohok hatinya.
Seakan tidak membiarkan Luna buka suara, Lisa kembali berbicara. "Kalau kamu menikah dan punya anak, siapa yang mengurus perusahaan? Aku? Aku,'kan gak bisa ngelakuin apa yang kamu bisa."
Bagi Lisa, pertemuannya dengan Luna tidak membuatnya merasa senang. Seharusnya begitu, namun entah mengapa disini Luna terlihat egois. Lagi-lagi ia melibatkan Lisa dalam urusannya.
Pernah saat kecil, Luna memaksa Lisa memboncenginya sepeda untuk berkeliling komplek. Padahal Lisa sudah menolak karena ia belum lancar naik sepeda. Alhasil mereka berdua jatuh, kaki Luna terluka dan yang pasti Lisa yang dimarahi Ibunya karena sangat ceroboh.
Kejadian itu dan yang lainnya sudah cukup bagi Lisa.
Dengan menerima perjodohan ini, ia harap ini adalah yang terakhir dirinya menuruti permintan Luna.
Sungguh, kalau urusan cemburu, jelas Lisa merasakan. Kehidupannya dengan Luna selama bertahun-tahun selalu dibandingkan. Di mata semua orang, Luna selalu unggul satu tingkat di atasnya.
Selama dua menit mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Lusa aku pulang. Selama disini, jaga diri kamu baik-baik," ucap Luna akhirnya. Lisa hanya menghela kemudian mengangguk, tidak berniat memberi respon apa-apa.
✨✨✨
Sambil berjalan memasuki ruangannya, Jimin membuka jasnya dan ia sampirkan pada gantungan baju dekat jendela hingga menyisakan kemeja putihnya saja.
Kepalanya menoleh ketika mendengar satu ketukan kemudian pintu terbuka memunculkan sosok laki-laki 30 tahunan memakai stelan kantor sedang menggendong putranya. Lantas ia lansung berjongkok membiarkan putranya berlari menghampiri Jimin.
"Paman!!" Panggil Hazza—putra dari Jackson Johanson yang merupakan adik sepupu Jimin.
Jimin berlutut kemudian menangkap kedatangan Hazza ke dalam pelukannya dan langsung berdiri menggendong bocah lima tahun itu sambil tertawa gemas. "I miss youuuu," seru Hazza menepuk-nepukkan kedua pipi Jimin.
Bocah itu memang dekat sekali dengan Jimin. Setiap kali berkunjung kesini di jam kerja, pasti alasannya rindu. Hazza anak kecil yang lucu, ia bilang kalau sudah besar nanti ingin seperti Ayahnya dan Paman Jimin.
Dulu setiap weekend, Hazza pasti main ke rumah Jimin. Kadang juga Jimin mengajaknya jalan-jalan berdua, ke taman bermain, beli mainan dan es krim.
Dari tempatnya, Jackson sang ayah tersenyum. Jimin membenarkan posisi Hazza dan berbicara pada Jackson. "Ada apa?"
Jackson menunjuk putranya sendiri dengan dagu. "Itu, Hazza mau ketemu. "
Jimin memgambil posisi di sofa kemudian menurunkan Hazza agar duduk di pangkuannya. "Btw, gimana Jack? Kapan kamu serah terima jabatan sama Ayah?"
Kalau kalian lupa, Jackson itu calon CEO GY Entertainment yang dulunya dipimpin sama Om Will—Ayah Jimin.
Jackson itu putra dari Jaenath Park—adik keduanya Om Will.
"Jadwalnya minggu depan. Tapi sekarang aku sudah mulai sibuk ngurusin dokumen sih, Hyung," tutur Jackson memandangi Hazza yang kini sedang sibuk melompat-lompat di atas sofa.
"Hyung," panggil Jackson masih mempertahankan pandangannya pada Hazza. "gimana..?"
Pertanyaan ambigu Jackson membuat Jimin tak mengerti. Laki-laki itu mengerutkan dahinya. "Gimana apanya?"
Melihat reaksi kakaknya, Jackson malah tergelak. "Malam pertama. Yaelah, yakali masih gak ngerti?"
Di tempatnya Jimin memutar mata, lantas melempar Jackson dengan bantal sofa. "Gak sopan!"
Jackson menangkap bantal itu sambil tertawa. "Cuma nanya, Hyung. Emang Hyung gak ada niatan mau punya anak?"
Jimin memperhatikan Hazza yang kini malah berdiri di dekat jendela kaca yang langsung memberi pemandangan jalanan Kota Seoul. "Kan Hyung suka sama Hazza, kalau punya produk sendiri pasti lebih menyenangkan."
Perkataan Jackson yang semakin melantur membuat Jimin segera melempar laki-laki itu dengan bantal kedua. "Stop it! Kalau diterusin pkiranmu semakin melenceng!"
TBC
Wow, malem-malem update karena baru inget hehe. Maaf ya.
Gimana chapt ini? Ngebosenin ya?
Oke deh. See u next part!
Borahae,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...