Mau tidak mau, Lisa harus pulang ke rumah dan menuruti apa kata Bambam. Sebenarnya ia malas, ia tidak sanggup berhadapan dengan Jimin. Hatinya nyeri, melihat wajah suaminya itu sama saja merobek lukanya hingga semakin parah.
Langkah Lisa terhenti begitu kakinya menginjak ruang tengah. Seluruh keluarganya maupun keluarga Jimin berada di sini, entah apa yang mereka bicarakan tampak serius. Mereka semua memandangi kedatangan Lisa di waktu yang tepat.
Mata Lisa bertemu dengan manik biru gelap Jimin, hatinya seketika nyeri. Ia membuang pandangannya dan langsung bertemu dengan Luna-wanita itu memandangnya dengan tatapan sendu.
"Lis, kamu pulang sayang.." Kaki Lisa sontak mundur, tangannya terulur mengisyaratkan agar Jimin berhenti mendekatinya. Lantas Jimin berhenti, ia menatap istrinya yang enggan menatapnya.
"Jimmie, duduk." William bersuara dan Jimin langsung mengikuti apa kata Ayahnya.
Sementara Lisa tetap membeku di tempat. "My Lady, kamu juga duduk, sayang." kata Denish melembutkan bicaranya agar Lisa menurut. Namun Lisa tidak mendengarkannya.
"Kita harus selesaikan masalah ini secepatnya sebelum publik tahu. Semua keputusan ada di tangan Lisa dan Jimin. Apapun keputusannya, kita tidak boleh menolak. Ini semua demi kebaikan kita semua," tutur William panjang lebar dan disetujui oleh semuanya. Ia menatap putranya serta menantunya secara bergantian. "Lisa.. gimana keputusan kamu, Nak?"
Tangan Lisa terkepal erat. Ia menahan kerongkongannya yang tercekat dan memberanikan diri menatap suaminya itu. "Tanggung jawab. Gimana pun juga, itu anakmu."
Demi Tuhan. Lisa tidak pernah membayangkan ia akan mengucapkan kalimat seperti itu. Ia pun juga sadar, cara terbaik dari melupakan seseorang yaitu mengikhlaskan. Meskipun berat, Lisa harus mengikhlaskan Jimin menikah dengan Luna, karena memang Luna yang pantas bersanding dengan Jimin. Luna bisa memberinya keturunan sementara dirinya tidak.
Di tempatnya, Jimin menatap Lisa dengan tatapan berbinar. Matanya juga sembab sama seperti Lisa. Jimin juga frustasi menghadapi ini semua. Ia hampir gila kala Lisa pergi menjauh darinya malam itu.
"Aku mau kita cerai, Mas."
Valid. No debate.
Seluruh keluarganya menoleh ke arah Lisa dengan pandangan terkejut. Begitu juga dengan Jimin, ia bangkit dari tempatnya, kepalanya menggeleng lemah. "Nggak bisa, Lis.."
Melihat tatapan itu, Lisa tergelak ironi. Hatinya nyeri memandang wajah Jimin seakan-akan laki-laki itu benar-benar terluka karena diceraikan.
Detik selanjutnya, Luna sedari tadi diam membuka suara. "Lisa. Aku mau kok jadi istri keduanya Jimin. Ngga papa, aku ngga masalah. Asal kalian ngga pisah.. "
Astaga. Rasanya Lisa ingin tertawa sekarang. Demi Tuhan. Ia lebih baik menjanda daripada diduakan.
"Sayangnya aku gak mau, Luna. Kamu juga pasti paham gimana rasanya bukan jadi satu-satunya, tapi malah jadi salah satunya."
Setelah mengatakan itu, Lisa pergi meninggalkan seluruh keluarganya menuju kamarnya. Mempacking semua bajunya untuk berangkat besok ke Bangkok bersama Bambam.
Namun tanpa disadari, Jimin berlari mengejarnya memasuki kamar. Ia menarik tangan Lisa dari belakang kemudian memeluk istrinya itu, dan di waktu yang bersamaan, Jimin menangis terisak. "Jangan pergi.."
Dengan sekuat tenaga, Lisa mendorong Jimin agar menjauh. Ia berjalan membuka lemarinya dan menarik kopernya keluar. Dengan gerakan cepat Lisa mengangkut semua bajunya ke dalam koper. Kakinya melangkah menuju laci dan mengambil paspornya di sana.
Lagi, Jimin menarik tangan Lisa, menahan istrinya itu. "Lisa, kamu denger aku? Jangan pergi.. please?" Suara Jimin serak, ia menatap Lisa sayu.
Satu kali hentakan, Lisa berhasil melepaskan tangannya dari Jimin. Ia menutup kopernya kemudian kembali berdiri bersiap untuk pergi. Namun ia masih bergeming di hadapan Jimin yang kini berlutut di hadapannya.
"Kenapa sih, Mas? Aku salah apa sampai kamu tega menghamili saudara kembarku sendiri?" Suara Lisa bergetar. Ia menahan tangisnya karena sudah terlalu lelah.
"Aku rela meninggalkan masa mudaku demi menikah sama kamu, Mas." ujar Lisa tanpa jeda, "bahkan aku rela menerima perjodohan ini agar bisa mengejar mimpiku di sini."
Kalau saja waktu bisa diputar, Lisa lebih memilih tidak akan pernah datang ke Korea demi mengejar mimpinya. Tak apa, itu lebih baik daripada ia bertemu dengan Jimin dan menjadi hancur seperti ini.
"Maaf. Maafkan aku." Semakin mendengar betapa terisaknya tangisan Jimin semakin membuat Lisa marah.
Tak pernah terbayangkan mereka berdua menangis bersama seperti ini. Menangisi perpisahan, menangisi hubungan mereka yang sudah berada di ujung tanduk.
"Sekuat apapun kita cari alasan untuk tetap bersama, yang kita temui hanyalah alasan bagaimana kita harus berpisah." Buliran bening sukses menembus kelopak mata Lisa. Giginya gemertak menahan isak.
Hatinya terluka, meskipun Jimin berkata ia meniduri Luna merupakan suatu kecelakaan tetapi tetap saja semuanya salah.
"Seseorang bahkan bisa mencintai padahal nyatanya tidak. Bisa terlihat menyayangi padahal nyatanya dusta. Lalu apa yang membuatku percaya, kalau kamu tidak seperti itu?" Kedua bahu Lisa bergetar, ia mengusap air matanya dengan kasar.
Jimin berusaha bangkit dan hendak menyentuh bahunya kalau saja Lisa tidak segera mundur menjaga jarak. Ia membenci Jimin, sebesar rasa cintanya pada laki-laki itu.
Masih menatap manik milik Jimin, tangan Lisa bergerak memegang koper. "Apa kamu tau caranya pergi tanpa rasa sakit? Karena aku sudah ngga sanggup bertahan.. aku ngga bisa.. lebih baik kita berpisah daripada saling menyakiti seperti ini, Mas.."
"Lisa, maafkan aku." Jimin hanya mampu mengucapkan kata maaf. Ia tidak tahu lagi harus menjelaskan bagaimana. Meskipun dijelaskan pun Lisa tidak akan percaya, semua kepercayaannya sudah hancur karena perbuatannya.
Haruskah Jimin melepas Lisa pergi? Mampukah dirinya bahagia tanpa adanya Lisa di sisinya?
"Aku tau ini memang sulit bagi kita. Aku butuh waktu.." Setelah itu, Lisa pergi menarik kopernya seraya menghapus air matanya. Ia melewati ruang tengah membuat seluruh keluarganya sontak berdiri melihatnya keluar membawa koper. Lisa pergi tanpa pamit pada mereka.
Sementara Jimin menundukkan tubuhnya sambil meremat rambutnya kuat-kuat. Selesai sudah. Ia kehilangan segalanya. Cerita yang belum usai harus terhenti karena kesalahannya.
Maaf atas kesalahan aku yang membuat kamu kecewa, atas niat baik aku yang selalu kamu pandang salah. Aku ngga ngerti, kenapa bagi kamu pergi begitu mudah? Sementara bagi aku, meninggalkan kamu adalah hal yang paling susah..?
Lalisa, maafkan aku.
TBC
Guys jangan marahin aku kalo Lisjim pisah😭😭
Vote dan komen ya guys:(
Sweetheart,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...