✨47 | For You

1K 107 32
                                    

Terhitung satu bulan Luna pindah ke rumah Jimin. Selama itu ia terus menarik perhatian calon suaminya, berharap Jimin mengizinkannya untuk mengisi kekosongan di hati. Namun Jimin sekeras itu untuk Luna taklukan.

Laki-laki itu selalu menjaga jarak darinya, berbicara seperlunya, dan akan datang jika Luna membutuhkan. Hanya itu. Semua yang Jimin lakukan hanya berdasarkan memenuhi tanggung jawabnya karena janin yang ada di dalam perut Luna.

Bagi Jimin, mencintai Luna tidak pernah terpikirkan dalam benaknya. Ia sudah cukup menyakiti Lisa sejauh ini dan tidak ingin menyakiti wanita itu lebih jauh lagi.

"Luna, lepasin. Jangan ganggu saya." Jimin menyingkirkan tangan Luna yang sedari tadi menyentuh bahunya selama ia fokus melanjutkan pekerjaan kantor yang belum selesai.

Namun Luna belum menyerah, tangannya berpindah ke bahu satunya lagi, memijitnya pelan. "Biar kamu ngga pegal, Mas."

Mas. Panggilan itu hanya Lisa yang boleh memanggilnya. Mendengar itu membuat Jimin jengkel.

Sekali lagi, Jimin menyingkirkan tangan Luna. "Saya ngga butuh perhatian kamu. Lebih baik kamu istirahat, ini sudah malam. Kembali ke kamarmu sekarang."

"MAS JIMIN!"

"Jangan mulai," sahut Jimin tanpa menoleh ke arah Luna dan masih fokus pada laptopnya.

Sementara Luna sudah geram sendiri. Ia memegang perutnya yang sudah besar karena memasuki usia tujuh bulan. "Aku cuma mau perhatianmu, Mas!"

Tidak ada jawaban. Jimin tetap menulikan pendengaran.

"MAS JIMIN!" Luna teriak lagi. Kali ini lebih nyaring membuat telinga Jimin sakit.

"Semuanya yang saya kasih selama ini kurang bagi kamu? Kamu selalu saya turuti kalau mau ini-itu. Kamu mau tidur sama saya di kamar, saya turuti. Semuanya saya turuti. Tapi kalau permintaan kamu berlebihan, saya tidak bisa. Tolong kamu ngerti posisi saya," tutur Jimin panjang lebar. Ia berusaha menjaga suaranya untuk tetap tenang agar tidak memancing keributan.

Mendengar semua perkataan Jimin membuat hati Luna sakit seperti tersayat oleh ribuan pisau. "Kenapa kamu ngga bisa jatuh cinta sama aku layaknya kamu jatuh cinta ke Lisa, Mas?!"

Jimin lagi-lagi tidak menjawab. Ia rasa Luna cukup tahu alasannya.

Sebisa mungkin Luna menahan emosinya. Ia menatap Jimin yang tidak menoleh ke arahnya barang sedikitpun. "Apa kurangku, Mas? Kenapa kamu lebih milih dia daripada aku yang jelas-jelas memiliki segalanya dalam aspek manapun?! Aku bisa beri kamu keturunan sebanyak yang kamu mau. Sedangkan Lisa? Dia bahkan ngga bisa. Dia mandul—"

"JAGA UCAPANMU, LUNA!" Amarah Jimin yang sedari tadi ia tahan akhirnya keluar juga kala Luna merendahkan wanita yang dicintainya. "Saya ngga peduli kekurangan Lisa. Saya juga ngga peduli apa kelebihan kamu. Sampai kapanpun, saya ngga akan jatuh ke pelukan kamu. I'll never love again, kecuali sama Lisa." Jimin menutup laptopnya dengan kasar lalu meninggalkan Luna di ruang kerjanya.

Ia tidak peduli lagi jika Luna menangis karena ucapannya. Yang ada dipikiran Jimin adalah semakin sering ia melihat Luna, rasa rindunya pada Lisa semakin membesar hingga ia tidak sanggup menampungnya sendirian.

✨✨✨

Sebelum tidur, biasanya Jimin membaca buku terlebih dahulu. Entah buku fiksi atau buku tentang ilmu pengetahuan. Tiba-tiba saja ia teringat buku Almond karya Sohn Won Pyung yang beberapa bulan ia beli namun belum sempat dibaca.

Tangan Jimin bergerak di dalam laci mencari buku tersebut namun yang ia dapatkan secarik amplop surat yang tidak ia kenal.

Married With Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang