✨41 | Not Same

945 96 25
                                    

Kakinya yang dibalut sneakers berhenti melangkah. Mata kelabunya menatap rumah berukuran sedang yang terlihat cantik karena dipenuhi oleh tanaman bunga. Rumah sederhana ini, menjadi tempat dimana Lisa tumbuh besar seperti sekarang ini.

Sudah lama sekali ia meninggalkan rumah ini, ingin menangis rasanya. Ia rindu nenek, rindu sekali.

"Masuk gih sana. Temui nenek kamu, setelah itu mampir ke rumahku, ya?" kata Bambam menepuk bahu Lisa, ia tersenyum sebentar sebelum menarik koper menuju rumahnya yang bertepatan di sebelah rumah nenek Lice—nenek Lisa.

Senyum lebar muncul di wajah Lisa seiring langkahnya memasuki gerbang. Matanya mengedar memandang sekeliling yang tidak memiliki banyak perubahan, hanya tanaman bunga yang selalu nenek Lice tanam semakin banyak.

"Astaga, Ya Tuhan. Lalisa?"

Kepala Lisa menoleh dan mendapati Bibi Jean berdiri dengan sekantung plastik berisi buah-buahan. Matanya berbinar dengan senyum merekah ia mendekat dan memeluk tubuh mungil Lisa. "Kamu kesini dengan siapa, huh? Suamimu? Astaga, kenapa tidak memberi kabar? Di rumah belum menyiapkan apapun untuk kalian."

Bibi Jean terlihat kewalahan. Ia memandang Lisa yang hanya tersenyum ke arahnya. "Bagaimana ini? Aku jadi tidak enak dengan suamimu. Omong-omong, dimana dia?"

"Aku dengan Bambam, Bi. Suamiku sedang ada urusan disana jadi tidak bisa ikut." Lisa mengikuti langkah Bibi Jean memasuki rumah.

"Sayang sekali, padahal aku ingin melihatnya karena waktu pernikahanmu kami tidak bisa datang," kata Bibi Jean. Ia membantu Lisa membawa koper wanita itu menuju kamar kemudian keluar lagi menyiapkan minuman. "Nenek sedang tidur di kamar. Haruskah Bibi bangunkan?"

Kepala Lisa menggeleng, ia menghampiri Bibi Jean yang sedang membuat minuman di dapur. "Ngga usah, Bi. Nanti saja, aku ngga mau ganggu waktu istirahatnya."

"Ini, minum dulu." Bibi Jean menyuguhkan Lisa segelas air dingin. Ia menumpu dagunya di atas meja pantry. "Dalam rangka apa kamu datang kemari?"

Lisa mengusap sudut bibirnya yang basah sehabis minum. "Rindu bibi dan nenek?"

Bibi Jean sontak terkekeh. "Kenapa tidak mengabari?"

"Biar surprise."

"Berapa lama disini?"

"Satu pekan," kata Lisa. "Oh ya, katanya Kak Noah mau menikah, Bi? Makanya aku kesini bareng Bambam. By the way, kami bekerja di agensi yang sama."

Mata Bibi Jean membulat terkejut. "Serius? Kalian ketemu lagi? Ah, sahabat sejati emang ngga bisa dipisahkan." Kemudian matanya memicing. "Bibi pikir kalau sudah besar nanti, kamu bakal menikah dengan Bambam, lho, Lis?"

Sontak Lisa memutar mata kemudian tergelak. "Ah, Bibi, mana mungkin?"

Mereka tertawa. Hingga akhirnya Bibi Jean teringat sesuatu. "Oh ya, bagaimana pernikahanmu? Apa sudah ada tanda-tanda memiliki anak? Dengar-dengar, Luna menetap disana?"

Pertanyaan bertubi-tubi sontak membuat hati Lisa mencelos. Ia merasakan ada sengatan kecil menyerang hatinya, terasa sakit. Namun Lisa berusaha tersenyum menyembunyikan lukanya.

"Baik, kok, Bi. Aku nikah sama orang yang tepat. Tentang anak, kami belum ada rencana, masih sama-sama sibuk, Bi.. lagipula aku belum siap?"

Bibi Jean merasakan nada bicara Lisa tersendat-sendat seperti gugup. Entah karena apa ia tidak tahu, mungkin saja karena baru pertama kali membicarakan tentang pernikahan.

Lantas Bibi Jean tersenyum kemudian mengangguk. "Ngga apa, Lis. Kalau belum siap jangan dipaksakan. Nanti kamu jadinya stres. Tapi bagaimana pun juga, kami pengin lihat buah hati kamu. Bibi pengin nimang bayi kamu. Ngga kebayang cantik atau gantengnya kayak gimana?"

Married With Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang