"Kamu pergi untuk menghilang? Tapi tidak bagi senja, dia pergi untuk berjanji. Berjanji untuk kembali"
✨✨✨
Resepsi pernikahan kakak laki-laki Bambam sudah berlangsung sejak tadi pagi. Acara tersebut dilaksanakan di tepi pantai. Terkesan romantis ditemani dengan semilir angin serta pemandangan ombak dari birunya laut.
Pernikahan seperti ini yang Lisa harapkan sejak ia remaja. Menikah dengan laki-laki yang ia cintai, mengadakan resepsi di tepi pantai hingga malam, mengundang seluruh kerabatnya agar semua orang tahu bahwa hari itu ia menjadi orang yang paling bahagia sedunia.
Tetapi harapan itu kandas. Kini memang sekarang ia sudah menikah dengan orang yang ia cintai. Namun pernikahannya kemarin dilaksanakan secara tertutup, memasang senyum palsu selama acara berlangsung.
Menyedihkan.
Tetapi tidak ada yang lebih menyedihkan jika dibandingkan dengan masalah pernikahannya saat ini; saudari kembarnya dihamili oleh suaminya sendiri.
Sudah berapa kali Lisa mengulang kalimat itu dalam benaknya? Bahkan ia sudah terlalu lelah untuk menangis.
Malam-malam pahitnya terulang lagi. Tidak tidur dengan nyenyak, yang ia bayangkan hanyalah ketakutan. Kejadian yang sama saat ia masih dalam kekangan Ray saat dulu.
Semilir angin pantai mengibas surai hitam Lisa. Mata kelabunya tertutup kala kedua tangannya terlipat di atas lutut, membiarkan gaun putihnya menyentuh pasir—ia terduduk menyaksikan senja seorang diri. Menjauh dari keramaian guna menenangkan pikiran.
Seandainya saja.. kalau Lisa pergi, apakah semuanya baik-baik saja?
Seandainya kalau Lisa tiada, apakah ia tidak merasa sakit lagi?
Ia hanya ingin terbebas dari segala rasa sakitnya, melupakan semuanya, melewati fase ini secepatnya.
Demi Tuhan, Lisa ingin benar-benar pergi jika seandainya semuanya bisa segera selesai dan ia merasa tenang disana.
Manik Lisa berpindah memandang cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya dengan pandangan nanar hingga atensinya teralih ketika ada seseorang datang menghampiri. "Hei, ternyata disini?"
Lisa melihat sosok laki-laki berstelan tuxedo hitam legam berdiri lima meter darinya. Lisa tersenyum—cantik—bahkan indahnya senja kini terkalahkan. "Ya, sejak tadi disini, ada di bumi, di lintas khatulistiwa bertatapan dengan senja."
Bambam tersenyum lebar membuat kedua matanya membentuk bulan sabit. Ia ikut duduk di samping Lisa, memandang wanita itu yang kini sedang memandang ombak. "Puitis banget, belajar sama siapa?"
"Katanya, kalau lagi patah hati, seseorang bisa berubah jadi puitis," sahut Lisa dibumbui dengan kekehan.
Mereka sempat terdiam. Yang terdengar hanyalah suara ombak yang saling beradu dengan angin. Hari semakin gelap, matahari sedikit lagi menenggelamkan kepalanya digantikan dengan sosok bulan. Sejurus kemudian, Bambam bersuara kecil nyaris tidak terdengar. "Kamu harus bahagia lagi, jangan sedih-sedih lagi, itu ngga baik buat kamu."
Netra Bambam tak lepas dari wanita di sisinya ini yang berusaha tegar namun ternyata rapuh. Bambam tahu, Lisa melewati hari-harinya begitu sulit. Tidak bisa tidur dengan nyenyak meski sudah meminum pil tidur setiap malam. Entah sejak kapan sahabatnya itu mengonsumsi obat seperti itu, Bambam tidak bisa melarang, ia hanya bisa mengawasi secara diam-diam.
"Jangan nangis, please?" kata Bambam lagi begitu melihat mata Lisa berkaca-kaca. Wanita itu membalasnya dengan senyuman kemudian menghela napas panjang, menatapnya dengan mata berbinar. "Aku mau pergi, Bam.. Seandainya pergi itu mudah, aku udah bawa kaki aku ke sana," Lisa memandang laut sebelum melanjutkan, "tenggelam dan menghilang. Pergi bersama senja."
"Kamu pergi untuk menghilang? Tapi tidak bagi senja, dia pergi untuk berjanji. Berjanji untuk kembali," tutur Bambam langsung. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Lisa seraya menatap kedua mata wanita itu secara bergantian. "Apa kamu bisa? Aku ngga maksa kamu buat mengerti Jimin, aku ngga ngebela siapa-siapa. Tapi aku cuma pengen kamu tahu akar masalahnya dari mana, kalau memang Tuhan takdirkan kalian untuk berpisah, silakan. Kamu bisa pergi dan bahagia tanpa dia, Lis. Aku yakin—"
Belum sempat Bambam menyelesaikan ucapannya, Lisa segera menghambur ke pelukan laki-laki itu. Menumpahkan tangisnya yang sedari tadi ia tahan. Lisa menangis sejadi-jadinya—seolah-olah ini tangisan terakhirnya dan ia tidak akan menangis lagi selamanya.
Kapanpun dan dimanapun Lisa membutuhkannya, Bambam akan selalu ada. Meskipun dirinya sakit melihat wanita yang ia cintai menangisi orang lain. Apapun situasinya, Bambam siap menjadi rumah untuk Lisa.
"I love him. I really do, " lirih Lisa di tengah isakkannya, tangannya meremat jas hitam Bambam kuat-kuat. Sementara laki-laki itu tersenyum miris, ia berkata dalam hati. "And I love you without ever getting tired. You deserve to be treated well, Lis. I can treat you better than he can."
Isakkan Lisa mereda, Bambam melepas pelukan dan mengusap air mata wanita itu dengan kedua ibu jarinya. "Besok kita pulang, kamu selesaikan masalahmu baik-baik, ya? Jangan asal ambil keputusan tanpa berpikir. Kapanpun kamu ngerasa butuh aku, kamu bisa datang, Lisa. Because i'm your home." Di akhir kalimat, Bambam menampakkan senyum dan dibalas dengan senyuman juga dari Lisa." Makasih, Bam?"
Bambam menarik tangan Lisa untuk bangkit sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor akibat pasir yang menempel. "Balik lagi, yuk, ke sana? Udah semakin gelap dan dingin, nanti kamu sakit."
Lisa mengangguk sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kakinya melangkah seiring dengan Bambam.
"Jangan sedih terus. Tuan Putri ngga boleh sedih, kalo sedih, rakyatnya ikut sedih," kata Bambam membuat Lisa sontak terkekeh. "Aku ngga punya rakyat, Bam."
"Anggap aja rakyat itu orang di sekitar kamu. Termasuk aku."
TBC
Tau ngga alasanku ngga mau nulis part panjang-panjang? Karena ngga mau cepet selesai😭
Gimana part ini? Maaf ya kalau feel nya kurang dapet aku ngga bisa nulis bagian sedih:(
Tinggalkan jejak ya..
Thanks a lot,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...