Setelah bertemu dengan Jimin di kafe tadi pagi. Malamnya, keluarga mereka berdua mengadakan pertemuan. Keluarga Jimin mengundang keluarga Lisa untuk makan malam di rumahnya.
Lisa berjalan di tuntun oleh kedua orang tuanya di belakang. Sambil berjalan ke dalam, mata kelabunya menatap ke sekeliling rumah milik keluarga Park ini yang cukup megah.
Dimulai dari ruang tamu, detail dindingnya ditata sedemikian rupa dengan konsep rumah klasik ala Eropa. Warna dinding, langit-langit, dan lantai yang didominasi warna putih, diramaikan dengan sofa merah dengan list silver keputihan yang tampak mewah. Adapula chandelier dan semua cermin antik melengkapi tampilan ruang tamu ini.
Secara psikologis, warna putih menimbulkan kesan rumah yang megah, lebih luas, bersih, dan lebih terbuka.
Mata Lisa menangkap satu foto keluarga berukuran besar tertempel di tengah ruangan, Jimin dan adiknya—Nadine Inson William Park, wanita yang usianya lima tahun lebih muda dari Jimin—berdiri di antara kedua orang tuanya.
Adapula grand piano berwarna hitam mengkilau terletak di bawah tangga yang melingkar ke atas.
Desain dan interior rumah milik keluarga Park sukses membuat Lisa takjub. Ternyata memang bukan dari tampilan luar saja keluarga ini terlihat mewah, namun seisi rumahnya pun tidak mau kalah.
Kedatangan keluarga Lisa disambut oleh beberapa pelayan yang langsung mengantar keluarga mereka menuju ruang makan.
Disana, sudah ada kedua orang tua Jimin beserta putranya yang memakai setelan kemeja putih polos dengan tangan digulung hingga siku.
Lisa membungkuk hormat pada mereka kemudian duduk berhadapan dengan Jimin. Tak lupa ia memasang senyum palsu agar meningkatkan suasana.
Mereka semua berbincang bersama yang 90% membicarakan tentang bisnis. Lisa hanya diam, ia memperhatikan bagaimana cara Jimin berlomunikasi dengan lawan bicaranya.
Terkadang Jimin mengerutkan keningnya ketika sedang berpikir sementara lidahnya bergerak di dalam mulut yang mengatup. Kalau sedang tertawa, kedua mata pria itu menyipit membentuk bulan sabit. Kalau lawan bicaranya sedang berbicara, Jimin mempusatkan perhatiannya pada mereka, menatap bola mata lawan bicara dengan serius.
Pemandangan itu membuat Lisa berpikir, bagaimana bisa Jimin yang sudah berusia 35 tahun itu masih terlihat seperti laki-laki seusianya. Wajahnya tidak menggambarkan usianya saat ini.
William—Ayah Jimin—membuka suara sambil tersenyum. "Jadi keputusan sudah dibuat, bulan depan kalian menikah. Tinggal tentukan tanggalnya."
Semunya ikut tersenyum kemenangan di tempat. Sementara Lisa hanya mengangguk mengiyakan, matanya melirik ke arah Jimin yang ikut tersenyum dengan yang lain.
✨✨✨
Setelah acara makan malam selesai, Jimin membawa Lisa ke halaman belakang rumahnya. Mereka berdua duduk di kursi dekat kolam renang.
Lisa hanya diam sampai Jimin membuka suara. Kedua tangannya terlipat saling memeluk karena merasa dingin oleh udara malam.
"Jadi... setelah menikah kamu tinggal di rumah saya," kata Jimin membuka suara. Pandangannya menatap manik kelabu milik Lisa seksama, ingin melihat reaksi wanita itu.
Sebelum Lisa menanggapi, Jimin kembali buka suara. "Tenang aja, saya punya 2 kamar kosong. Terserah kamu mau pilih yang mana, yang penting kalau orang tua kita main ke rumah, barang-barang kamu harus segera dipindahin ke kamar saya sementara."
"Iya, pak," jawab Lisa.
Jimin memiringkan kepalanya guna menatap wajah Lisa yang terus menunduk sejak tadi hingga tertutup poni. "Kalau bicara sama orang, jangan dibiasakan nunduk. Gak sopan."
Sejurus kemudian, Lisa langsung mengadahkan kepalanya ke arah Jimin. Melihat itu membuat Jimin menahan senyumannya. "Ada yang mau kamu sampaikan ke saya?"
Samar-samar Lisa mengangguk, lalu berkata. "Pak.. Disana saya boleh gak bikin studio atau ruangan pribadi sendiri?"
Jimin tidak langsung menjawab, ia tampak berpikir dalam beberapa detik sampai kepalanya mengangguk. "Boleh. Di samping ruang gym saya ada tempat kosong, nanti kita panggil orang aja buat dekor tempat kamu."
Mendengar jawaban Jimin membuat Lisa langsung tersenyum lebar. "Makasih, pak."
✨✨✨
Lisa berjalan memasuki kamarnya dan langsung mengganti dressnya dengan piyama.
Maniknya berhenti menatap tanda kebiru-biruan yang tercetak di belakang punggungnya ketika ia tidak sengaja memutar tubuh di depan cermin. Luka itu masih membekas. Masih terpampang jelas kalau luka itu masih ada seakan tidak akan pernah hilang.
Tiba-tiba saja Lisa teringat kejadian malam itu yang hampir merenggut nyawanya kalau saja ia tidak buru-buru melarikan diri dari Ray—mantan kekasihnya saat di Thailand.
Kalau mengingat kejadian itu, dada Lisa mendadak sesak. Bayangan-bayangan menakutkan terpampang jelas di otaknya.
Lisa mengambil napas karena merasa pasokan udara mendadak sempit di bagian rongga dadanya. Ia menghela sambil mengerjap menenggelamkan air matanya agar tidak keluar.
Alih-alih mengingat kejadian di masa lalu, Lisa beranjak menidurkan diri di kasur dengan mata terpejam. Melupakan semua memori tentangnya.
Semoga saja Jimin yang akan menjadi suaminya kelak, tidak seperti mantan kekasihnya itu. Semoga.
TBC
Sesuai janjiku, update setiap sabtu hehe.
Vote ya guys, jangan lupa komen. Itu sebagai bentuk penyemangatku buat update next chapter sampe selesai:)).
Sejauh ini belum ada konflik, bertahap ya, ini masih tahap pemaparan, pelan-pelan sebelum ke konflik inti.
Thanks for your support guys!
Sweetlove,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...