"Luna hamil."
"Cepat atau lambat kamu harus menikahi Luna..."
Entah sudah berapa kali kalimat yang dilontarkan Ayahnya terngiang-ngiang di kepala Lisa.
Sejak kalimat itu terlontarkan, Lisa langsung pergi dari rumah orang tuanya, ia berlari sejauh mungkin menghiraukan Jimin yang mengejarnya di belakang. Hingga Lisa nekat menaiki bus yang entah membawanya kemana seperti sekarang ini.
Di tepi danau, Lisa terisak hebat sambil meremas rambut hitamnya hingga kusut. Tenggorokkannya tercekat karena terlalu banyak menangis. Tidak ada cara lain bagi Lisa untuk melampiaskan semua kekecewaannya selain menghabisi hampir lima kaleng bir beralkohol tinggi. Terbukti karena bekas kaleng tersebut yang sudah tidak jelas bentuknya tergeletak di atas rumput.
Terkadang, ada hancur yang tidak bisa dijelaskan.
Lisa ingin percaya, bahwa akan ada hal-hal baik dibalik ini semua. Namun entah mengapa ia tidak bisa mempertahankan kepercayaan itu. Kepercayaan itu hancur tanpa alasan. Hancur begitu saja, karena tidak ada lagi yang harus ia percayakan sebab sudah dihancurkan oleh orang yang beberapa bulan belakangan ini singgah di hatinya.
Gigi Lisa gemertak hebat. Ia semakin memeluk tubuhnya yang hanya dibalut dress selutut, suhu minus lima derajat menusuk-nusuk kulitnya. Ia hampir membeku, namun hawa dingin tidak mampu membekukan air matanya agar berhenti mengalir.
Tangannya mengambil ponselnya dengan gemetar. Ia menggigit bibir demi mengubur isakkannya yang belum juga berhenti selagi ibu jarinya mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Bambam
Bam..|
Aku telfon ya?|
Aku lagi sedih..|
Mau cerita|
Pengen ketemu|
Pengen peluk|
Sakit banget|
Aku boleh nyerah ga?|
Aku capek buat keliatan baik-baik aja|
Read,Belum genap dua menit pesan itu dibaca, satu panggilan langsung menghubungi nomor Lisa.
Bambam is calling..
[Lalisa. Are you okay? Kamu dimana sekarang?]
Lisa dapat mendengar suara grasak-grusuk di sebrang sana. Ia masih bergeming hingga mendengar suara mesin mobil dinyalakan.
[Hei. Lisa, kamu disana? Jawab aku. Astaga, kamu kenapa nangis?]
"Bam.." lirih Lisa sambil meredam tangisnya. Entah mengapa disaat terpuruk seperti ini hanya Bambam yang terlintas dipikirannya, padahal ia masih mempunyai Jisoo sahabat dekatnya.
[Kamu dimana? Please, jawab aku. Aku kesana sekarang]
"Aku ngga tau ada dimana.."
[Oke. Aktifkan GPS kamu sekarang. Jangan kemana-mana, I will pick you up. Jangan matikan telefonnya sampai aku disana]
✨✨✨
"Bedebah."
Ribuan kalimat sumpah serapah yang dilontarkan oleh Ayahnya berkali-kali menyerang indera pendengaran Jimin.
Laki-laki itu berlutut lemah di depan Sang Ayah sambil menatap lantai penuh darah yang mengucur dari lebam di wajahnya. Ia menangis dalam diam sambil menahan rasa sakit yang ia pikir belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang Lisa rasakan akibat perbuatannya.
Sang Ayah tak segan-segan memukul putra kebanggaannya itu atas apa yang terjadi. Semua mutlak kesalahan Jimin. Kesalahan fatal, bercinta dengan wanita lain disaat sudah beristri saja salah, apalagi sampai menghamili?
Kali ini Jimin tidak akan melawan jika dipukuli oleh Ayahnya. Tidak seperti dua puluh tahun yang lalu saat ia melawan dipukuli karena ketahuan merokok di sekolah.
Di sisinya, Sang Ibu memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Memohon pada suaminya agar berhenti memukuli putra mereka.
"Seharusnya kamu bilang dari awal kalau memang kamu maunya sama Luna! Kita bisa menunggu sedikit lebih lama sampai dia setuju." Napas William tersengal, genggamannya mengerat pada tongkat baseball yang ia gunakan untuk memukuli putranya itu.
William memang tipikal Ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya. Hal itu karena ia juga di didik seperti itu oleh mendiang Ayahnya.
"Papa ngga mau main tangan sama kamu, Jimmie. Kamu itu sudah dewasa, not a seventeen years old child who has to be taught."
Hyorin semakin memeluk putranya itu. Ia menangis sambil menggeleng pada suaminya. "Cukup, Pa.."
William tidak merespon, ia melempar tongkat baseball ke lantai hingga menimbulkan bunyi nyaring. "Solve your own problems," katanya kemudian pergi menuju kamar, meninggalkan ruang keluarga yang sudah berantakan serta serpihan beling berserakan di lantai.
✨✨✨
Kedua tangannya memeluk erat kaki Sang Ayah. Ia beringsut di lantai sambil menangis tersedu-sedu.
"Pukul aku aja, Dad. Atau.. kalau Daddy mau aku gugurin kandungan.. aku rela! Aku emang ngga berguna! Aku nyesel!" Luna memukuli kepalanya sendiri dengan brutal. Membuat Ayahnya merasa tidak tega namun masih mempertahankan posisinya, pikirannya tertuju pada sosok putrinya yang satu lagi, Lisa. Dimana ia sekarang?
Mendengar ucapan putrinya, Sora melotot kaget. "Luna! Kamu bicara apa sih?"
Denish menghela napas, tangannya bergerak memijit pangkal hidungnya akibat pusing. "Jangan minta maaf sama Daddy. Minta maaf sama saudaramu—Lisa. Dia pasti sangat terluka sekarang. Daddy ngga tau lagi, kamu cari jalan keluar sendiri. Daddy ngga mau ikut campur. Ini urusan kamu. Kamu sudah dewasa. Selesaikan masalah ini tanpa harus menggugurkan anakmu. Bagaimanapun juga, dia tidak salah. Dia akan menjadi bagian dari keluarga kita."
Pasti, Dad.. Aku akan menyelesaikan ini semua dengan membuat Lisa menyerah dan menceraikan Jimin..
TBC
Hii long time no see. Maaf ya baru update, hampir seminggu aku ngga buka wattpad🥺
Love,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...