Sekitar pukul tujuh pagi Lisa terbangun dalam keadaan Jimin mendekapnya dari belakang.
Ia melihat tubuhnya yang kini sudah dibaluti piyama, membuatnya tersenyum kecil. Semanis ini Jimin memperlakukannya. Jimin yang tidak membiarkan istrinya kedinginan saat tidur.
"Sudah bangun?" Suara serak Jimin kini menjadi suara favorit Lisa di pagi hari selain suara burung berkicau.
Lisa tidak menjawab, ia masih mau menikmati momen ini. Dimana Jimin mendekapnya dari belakang memberi kehangatan tersendiri.
Jimin menyelipkan tangan kirinya di bawah leher Lisa seraya menarik tubuh wanita itu agar lebih mendekat ke arahnya. Pinggang Lisa kini dikuasai oleh tangan kekar Jimin, seakan tidak akan membiarkan wanita itu pergi darinya.
"Mas," Tangan Lisa menepuk lengan Jimin yang melingkar di atas tubuhnya. "prepare, yuk. Sudah jam tujuh lewat. Nanti telat lho.."
Mendengar itu justru Jimin malah memutar tubuh Lisa menghadap ke arahnya dan membawa wanita itu untuk bersandar di atas dada bidangnya yang polos tanpa kaus. "Sebentar aja.."
Jimin mengusap punggung Lisa lembut dengan mata tertutup. Sementara Lisa hanya diam diperlakukan seperti itu.
"Lima menit!" seru Lisa memberi perintah membuat Jimin menggerutu pelan. "Lima belas menit, ya?" rajuknya.
"Kelamaan. Takutnya kamu ada rapat pagi ini."
Masih dalam posisi yang sama, Jimin memanfaatkan kesempatannya untuk menghirup aroma sampo Lisa. "Kan bisa di re-schedule."
"Gak bisa gitu, Mas. Emang ngga kasian sama klien kamu?"
"Itu bisa diatur," jawab Jimin enteng. Sementara Lisa membenarkan posisi kepalanya agar tetap nyaman berada di atas bahu Jimin. Tangan kanannya terkulai di atas dada bidang suaminya itu, dengan jari telunjuk bergerak membentuk pola melingkar di atas sana.
Sejurus kemudian membuat Jimin menghela napas kasar, menahan rasa geli di dadanya. "Perhatikan tangan nakalmu itu."
Lisa terkekeh pelan seraya menghentikan aktivitas jari telunjuknya. Ia mengadah menatap mata biru Jimin. "Kenapa? Gak suka?"
"Kamu ngga tahu ya betapa berbahayanya hormon laki-laki di pagi hari?" seru Jimin dikala tangannya mengusap rahang Lisa.
Mereka sama-sama terdiam, Lisa larut dalam usapan tangan Jimin pada wajah serta perpotongan lehernya.
Hingga detik selanjutnya, tangan Jimin merambah pinggul Lisa serta mengurungnya dengan kaki kirinya. "Bisa ngga kita main lagi? Aku rindu," bisik Jimin pelan.
Lisa membuka matanya dan mendapati wajah Jimin hanya beberapa senti di hadapannya. Jimin menempelkan dahi serta hidung mereka.
"Kita harus pergi ke kantor," kata Lisa dengan napas tak beraturan ketika tangan Jimin sudah bergerak lebih jauh menyelinap di balik piyamanya guna menjangkau punggungnya.
Dalam sekali gerakan cepat, Jimin mendorong tubuh Lisa mengubah posisinya di atas wanita itu. "Hanya sekali, aku janji."
Lisa tersenyum kemudian mengangguk, "As you wish, Jimmie. Berapapun yang kamu mau, semua terserah padamu."
"Because you're mine?" Jimin tersenyum seraya menepuk pipi Lisa.
"Yes, I'm yours."
Mereka berbagi tawa dikala penyatuan mereka untuk yang kedua kalinya.
Jimin menenggelamkan kepalanya dalam leher Lisa, mulai menjepit kulit wanita itu dengan menggunakan bibirnya.
Pagi ini, akan menjadi pagi terindah bagi mereka berdua.
✨✨✨
Sejak pagi Lucas sudah sibuk dengan persiapan kafenya yang sebentar lagi buka.
Ia berjalan kesana-kemari membantu petugas menyusun perabot serta interior kafenya agar terlihat lebih aesthetic dan nyaman dilihat.
Lucas tidak menyangka proposalnya akan diterima secepat ini oleh Jimin. Terhitung baru dua minggu ia mengirim, dan sudah di acc.
Kakak iparnya memang luar biasa!
Tempat ini kelewat bagus untuk ukuran kafe. Memiliki dua lantai serta berada di Gangnam yang dipadati masyarakat.
Seharusnya Lucas tidak semena-mena meminta tempat sewa gratis pada Jimin. Memang pada dasarnya Lucas tidak tahu malu dan tidak mau rugi.
"Nuna!" panggil Lucas ketika dirinya melihat Lisa memasuki kafe.
Wanita itu memakai baju turtleneck rajut berwarna putih serta celana jeans ketat sebagai bawahan, sementara rambutnya dikuncir ala messy bun.
"Sudah selesai dekornya?" tanya Lisa ketika Lucas menghampirinya. Lucas tersenyum gembira seraya merentangkan tangannya. "Sedikit lagi. Gimana dekorasinya?"
Kepala Lisa naik turun dengan mata kelabunya menelisik seluruh ruangan. "Lumayan."
Pengakuan dari kakaknya membuat Lucas bersungut kesal. "Lumayan? Nuna kalau mau beri pendapat jangan setengah-setengah."
Mendengar itu, Lisa malah tertawa. "Iya, bagus. Kamu pinter milih konsepnya. Setelah ini, apa lagi?"
Lucas membimbing Lisa untuk berjalan lebih dalam, dan berhenti di meja berukuran sedang di sudut kafe. "Rekrut pegawai."
"Kamu yakin mau ngelakuin itu semua sendiri?"
"Aku gak sendirian. Nanti temanku anak marketing mau bantu-bantu dikit di sini," jawab Lucas.
Detik selanjutnya Lisa mengangguk setuju. "Bagus deh, jangan minta bantuan Mas Jimin lagi. Dia sudah pusing sama kerjaannya di kantor."
Ucapan Lisa membuat Lucas tertegun selama beberapa detik. Matanya melirik Lisa nakal. "Mas? Bukannya kemarin Nuna manggilnya Bapak ya?" Lucas meledek membuat Lisa membuang pandangannya menahan senyum. "Oh, ceritanya sudah jadi pasutri beneran?" Lucas menepuk tangannya dua kali, "Asikk. Sebentar lagi aku punya ponakan!!"
Melihat kelakuan Lucas, lantas Lisa melotot dan memukul bahu laki-laki itu. "Berisik! Nakal banget pikiranmu. Dasar. Byuntae."
TBC
Hai! Selamat malam minggu!
Lagi suka nulis yang bucin-bucin gitu:(
Maaf ya kalau cheesy hehe
Lots of love,
Nadyazayn✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Mr. Park ✔
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Lisa, ada satu kenyataan yang paling menyakitkan yaitu ketika ia mengetahui bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memberi Jimin keturunan. Namun, ada kenyataan yang lebih menyakitkan, ketika Luna-saudara kembarnya-mengandung anak dari...