28. Kapan Putusnya?

950 92 2
                                    

Akibat benturan dari batu, kini kaki kiri gadis cantik itu tak bisa di gerakakkan untuk sementara. Sedih. Iya, itu yang ia rasakan.

Bukannya mendapat dorongan dari sang ibu, kini malah mendapat ceramah yang panjang. Mulai dilarang pergi untuk menunaikan hobinya, untuk tidak sekolah, tidak makan sembarangan dan masih banyak lagi. Semua perintah sang mama hanya memintanya untuk diam, diam, dan diam.

Sudah dua hari ia disini, dan dia cuma bisa di atas kasur rumah sakit ini. Itu pun jika ingin pergi harus menggunakan kursi roda.

Ceklek...

Sibuk dengan lamunannya, tiba-tiba dua orang masuk dengan membawa banyak makanan. Hingga semua tangannya di penuhi oleh kantong kresek. Dan baju seragam sekolahnya masih melekat indah di badannya.

"Nih." Ucapnya lalu menyimpan semua barang bawaannya di kasur milik Diva.

Diva tersenyum bahagia, "Baiknyaaaa." Diva mengutak atik kantong kresek itu.

"Ngga bilang makasih?" Ucap Aline diiringi anggukan oleh Rea.

"Oh, iya. Makasih." Kekeh Diva.

Setelah memutuskan untuk menjenguk Diva sepulang sekolah di rumah sakit, Aline dan Rea pun menerima amanah dari orang tua sahabatnya itu. Mulai menjaga waktu makan Diva, istirahat yang teratur dan masih banyak lagi.

"Besok wali kelas kita mau kesini, sama teman kelas."

"Ngapain?"

"Jengukin lo lah, Div."

"Gue ngga sakit."

"Iya, mau jengukin orang sehat." Timpal Aline. "lo sehat kan? Kalo gitu gue mau tidur." Tanpa permisi ia pun berbaring di sofa empuk ruangan ini.

Tok.. Tok...

Semua pasang mata memandang pintu yang di ketuk. Bahkan Aline yang berniat tidur kini terbangun. Mereka bertiga menunggu masuknya orang itu, tapi tak kunjung masuk.

Tok... Tok... Tok..

"Siapa sih?" Tanya Rea kepada kedua sahabatnya. Ia mulai risih. Sok misterius.

Mereka berdua mengangkat bahunya tak tahu.

Tok... Tok... Tok... Tok... Tok...

"Keluar!" Celutuk Rea, tak suka dengan suara itu. Kalau mau masuk, masuk saja. Tak suka cari-cari perharian.

"Eh... Masuk Rea, bukan keluar. Itu kan udah di luar." Ralat Diva memutar bola matanya di tengah kunyahannya.

Sedetik kemudian dua orang masuk dengan wajah tampannya. Bahkan di iringi senyumnya yang menawan.

Semua gadis yang ada di dalam tadi memutar bola matanya. Malas. Itu Daffa dan juga Rayn.

"Ternyata kalian." Dengus Aline dan melanjutkan tidurnya.

"Kok kalian berdua bisa berengan?" Tanya Rea yang sekarang ikut bergabung memakan makanan Diva.

"Dia nih yang mau ikut." Tunjuk Daffa kepada Rayn. Jika di bilang akrab, juga tidak. Rayn dan Daffa tidak terlalu akrab. Bahkan Rayn selalu membuat ulah di kelasnya.

"Bangun bep, kalo kamu tidur disini aku mau duduk dimana?" Rayu Rayn kepada gadis yang sibuk memejamkan matanya.

"Lo duduk di lantai." Balas Aline yang matanya masih tertutup.

"Kalo tetap ngga mau bangun gue tidur disini juga." Goda Rayn sambil menepuk tempat kecil di samping Aline yang kosong.

Dengan sigap, Aline bangun dari tidurnya. Ia berdecak kesal, mendongakan kepala menatap pria yang berdiri di dekatnya. "Ngapain harus datang segala sih." Kesalnya. Baru juga tertidur, kini datang si pengganggu.

Tanpa permisi lagi, Rayn kini duduk di samping gadis itu di ikuti oleh Daffa yang berdiri sejak tadi menatap keduanya yang selalu saja bertengkar jika bertemu.

"Kalo cinta yah jadian." Gumam Daffa.

"Apa lo bilang?"

"Gue ngga bilang apa-apa loh ya." Daffa menganggkat kedua tangannya merasa tak bersalah.

"Andre mana?" Tanya Diva kepada Rayn. Semenjak ia sakit, pacarnya itu tak kunjung datang menjenguk apa lagi menanyakan kabarnya.

"Andre? Eh itu, anu. Anre sibuk." Rayn bingung harus menjawab apa. Ia bahkan tidak tahu dimana sahabatnya itu berada. Terakhir kali waktu ia mengajak untuk menjenguk Diva, Andre hanya mengatakan bahwa ia sibuk.

"Sibuk?" Gumam Diva. "Sibuk sama orang 'itu'?" Tanyanya lagi.

"Andin?" Tanya Rayn memastikan.

"Oh iya, gue juga ngga pernah lihat Andin beberapa hari ini." Tutur Rea.

"Dia di rawat di rumah sakit. Tapi katanya udah keluar kemarin." Terang Rayn.

"Kata siapa?" Tanya Diva lagi.

"Andre."

"Dia tahu banyak ya, tentang Andin." Simpul Diva.

"Ngga usah mikirin dia Va, lo fokus aja sama penyembuhan lo. Kalo lo sembuh pasti dia balik lagi ngejar lo. Atau kalo lo sembuh kita cari pacar sama-sama." Bujuk Aline.

"Gue dari dulu mau jadi pacar lo, tapi ngga pernah di lirik." Dengus Rayn.

"Karna lo jelek." Sembur Daffa.

-----

Malam yang sunyi, semilir angin masuk melalui jendela yang terbuka, kini menerpa wajah manis yang tengah terlamun menatap keluar jendela mobil.

"Ngelamun aja." Ujar Andre di tengah kesibukannya menyetir mobil dan sesekali menatap wajah yang sayu itu. Masih cantik.

Sejak pulang sekolah, Andre terus menemani Andin kemana pun yang gadis itu mau.

"Kenapa kak?" Tanya gadis itu.

Andre menggeleng, "Kita mau kemana lagi?"

"Depan situ ada taman. Kita kesana dulu ya sebelum pulang." Mintanya kepada pria disampingnya. Sementara lawan bicaranya hanya mengangguk mantap.

Sekitar 10 menit menyetir dijalan yang sepi, kini mereka telah sampai di taman. Bukannya duduk di kursi taman yang kosong, mereka malah duduk di rumput taman itu.

"Pulang sekolah besok, kak Andre mau kemana?" Tanya Andin menghilangkan kesunyian di antara mereka.

"Kenapa? Mau jalan lagi?" Tanya Andre.

"Ngga." Andin menggelengkan kepala.

Melihat anggukan itu, kini Andre memberanikan diri untuk mengutarakan niatnya sejak tadi, "Kalo aku mau lihat Diva, boleh ngga?"

Andin mencerna pertanyaan Andre, lalu sedetik kemudian tawanya pun pecah, "Jadi ceritanya kak Andre izin sama aku?" Ledeknya di sela tawanya.

"Jadi boleh ngga?" Tanyanya lagi dengan serius.

"Mau ngapain aja?"

"Lihat."

"Aku ikut."

"Ngga!" Andre menggelengkan kepalanya cepat.

"Jadi, kapan putusnya?" Tanya Andin serius.

Andre terdiam, ia juga bingung jika di tanya begini. Ia juga tidak tahu apakah dirinya mencintai Diva atau tidak. Mungkin tidak.

"Kak."

"Hm?"

"Kapan putusnya?"

"Tunggu aja."

-----

Alhamdulillah,

900 kata untuk part ini yah😁 Jangan lupa tinggalin jejak Readers😚

Setitik Jejak (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang