39. Jemput

959 91 2
                                    

Hari demi hari Diva telah lewati bersama Andre dengan ujian. Bagaimana bisa move on jika begini caranya?

Diva termangun di halte menunggu angkutan umum setelah ujian di hari terakhirnya itu. Libur. Akhirnya ia kini bisa menikmati momen itu.

Bukan hanya ia seorang yang ada di sini, tapi banyak siswa-siswi yang menunggu angkutan umum juga.

Tak berselang lama seseorang datang dengan menggunakan motornya di hiasi dengan helm fullfacenya. Diva menatap darat orang itu. Sok keren.

Kemudian orang itu melepas helmnya dan menatap Diva sekejap. Itu Andre. Gadis itu juga menatap Andre. Tumben pake motor, semenjak bahkan sebelum pacaran Andre selalu memakai mobilnya atau bahkan di jemput oleh supir pribadinya, tetapi sekarang berbeda.

Andre yang semula saling bertatap dengan Diva kini memutuskan tatapannya duluan dan menatap kearah lain. Diva tak tinggal diam, ia juga mengikuti arah pandang Andre. Lalu sedetik kemudian gadis itu tertawa hambar. Ternyata yang di tatap oleh Andre itu ternyata Andin. Malah sekarang Andre dan Andin saling tersenyum sehingga membuat Diva memanas di kursi itu. Ia mulai risih dengan keadaan ini. Sok romantis. Ia buru-buru berjalan pergi ke arah lain, ia tak peduli kemana arahnya sekarang.

•••

Seseorang kini dengan gemulai berenang di kolam berenang besar itu. Hari libur telah tiba, dan kemalasan pun telah tiba.

"Dara?" Panggil mamanya. Semenjak ia menikahi Delvan si labil itu, ia dipaksa untuk tinggal disini oleh mama Delvan sebelum anaknya lahir. Entah apa sebabnya, mungkin ia takut uangnya 35M itu hilang begitu saja jika Dara pergi dari sini. Entahlah Dara pun tak tahu.

"Dara!" Panggil Mamanya lagi kini dengan nada yang lebih lantang kepada putrinya itu.

Mendengar panggilan itu, Dara menepi ke pinggir kolam. "Kenapa ma?" Tanyanya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang ada di dekatnya.

"Makan." Ucap wanita paruh baya itu.

Perut Dara pun kini sudah membuncit, ia bahagia dengan itu. Akhirnya ia bisa merasakan bagaimana anaknya tumbuh di dalam perutnya itu.

"Ngapain melamun? Ayo makan."

"Iyaiya.."

•••

Semakin matahari akan terbenam, taman ini semakin ramai oleh pengunjung. Mulai dari berjalan-jalan hingga berkumpul bersama. Sedangkan dua insan ini hanya duduk terdiam di bawah pohon yang ada di taman ini.

Aline menatap tajam kedepan sedangkan Rayn yang ada di sampingnya terkekeh melihat ekspresi gadisnya itu. Eh salah, tapi mantannya.

"Ngapan sih nguntilin gue mulu!" Aline mulai resah akibat ulah pria disampingnya yang terus memandanginya sedari tadi.

"Udahlah, gue mau pergi."

"Sini dulu." Rayn menarik tangan gadis yang ingin pergi itu dan kemudian terduduk lagi di sampingnya.

Aline menarik paksa tangannya dan menatap sinis Rayn.

"Kalo mau bicara, bicara sekarang. Gue mau pulang, mau mandi."

"Lo belum mandi?"

"Belum mandi sore."

"Yaudah ayo pulang." Ajak pria itu yang kini berdiri dari tempat duduknya.

"Gue mau pulang sendiri." Tolak Aline.

"Naik apa?"

"Naik kaki!"

"Jalan?"

Aline berdiri dari duduknya. "Mau gue jalan, naik mobil, pesawat, motor, atau apa pun itu, itu urusan gue." Aline berjalan menjauhi pria keras kepala itu.

Setitik Jejak (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang