29. Ramai

846 88 0
                                    

"Kalau bapak, dulu banyak sahabatnya. Paling dekat nih, sama sahabat perempuan bapak. Udah sebelas tahun dekat sampai sekarang." Curhat seorang lelaki setengah baya, salah satu guru dari SMA Cendaki Bhakti.

"Terus jadian Pak?" Tanya Rea kepada gurunya itu yang sedari tadi meladeninya. Sedangkan sebagian siswa hanya mangut-mangut apa yang di jelaskan oleh lelaki ini.

Semenjak pulang sekolah, teman kelas Diva dan salah satu gurunya datang untuk menjenguknya. Hingga sekarang ruangan ini ributnya seperti panti asuhan, kadang tertawa karena hal garing, mau pun berdebat karena hal kecil. Senang bisa melihat mereka dengan tingkah absurdnya masing-masing.

"Iya, Jadian. Tetap jadi sahabat." Ungkapnya lagi.

"Kenapa pak?"

"Udah meninggal."

Semua orang yang ada disini menatap penuh tanya kepada lelaki itu.

"Ninggalin bapak demi orang lain ya." Celutuk Daffa diiringi tawa ngakak-nya.

Diam. Hanya terdengar suara tawa Daffa yang menggelegar di ruangan ini. Semua mata tertuju padanya. Jujur saja, tadi banyak orang yang ingin ketawa akibat celutuk Daffa itu, tapi karena di dahului oleh tawa pria itu yang tidak enak, hingga mampu dapat menghilangkan selera humor siapapun yang mendengarnya.

Perlahan tawa pria itu hilang, sadar akan dirinya yang menjadi sorotan sekarang.

"Kamu ledekin bapak ya?"

Aduh, semua orang berdecak kesal kepada Daffa. Bahaya jika guru yang satunya ini marah, bisa-bisa mereka kena semprotnya juga.

Ceklek....

Seorang gadis masuk dengan memakai jaket tebal menutupi badan mungilnya. Itu Dara. Ia Masih berdiri di dekat pintu, gadis itu menatap semua orang yang juga menatapnya aneh. Lama tak berjumpa.

Kakinya ia seret pelan mengarah gurunya itu lalu bersalaman.

"Akhir ini kamu sering absen, kemana? Ingat loh, dua bulan lagi kamu akan lulus." Tanya guru itu setelah menerima salam Dara, siswanya.

Gadis itu tersenyum kikuk, sudah berbagai macam alasan yang ia pernah berikan kepada guru di depannya ini. Lalu alasan macam apa lagi yang harus ia ajukan sekarang.

"Dia ngurus KTP." Tiba-tiba seorang pria masuk tanpa permisi. "SIM juga." Lanjutnya, itu adalah Delvan. Pria yang akhir ini menjadi ekor Dara. Kini pria itu menjadi sorotan di ruangan ini. Banyak yang berbisik bertanya siapa pria ini.

"Dara ngurus SIM? Diakan ngga pintar mengendarai motor apa lagi mobil." Sela Daffa. Setahunya Dara itu tidak pintar mengendarai motor maupun mobil. Bahkan dulu gadis itu pernah mengaku bahwa ia tidak pernah belajar untuk hal ini.

"Sepeda."

-----

"Lo ngga pulang?" Tanya Diva melihat Rea yang sibuk bertatapan dengan laptop.

Sejak kepulangan semua temannya tadi, hanya Rea lah yang tinggal menemaninya disini. Aline sibuk dengan urusannya sendiri sedangkan Dara terpaksa pulang akibat paksaan sepupunya, Delvan. Sedangkan kedua orang tuanya pulang dan akan kembali ketika malam nanti.

"Lo bosan lihat muka gue?" Tanya Rea yang matanya masih sibuk dengan laptop yang ada di pangkuannya.

"Hm." Diva mengagguk meski anggukannya itu tak di lihat oleh sahabatnya.

"Mau gue panggilin Andre?"

Diva tersenyum kecut, "Dia sibuk."

"Dia sibuk karna sibuk-sibukin dirinya."

"Dia emang sibuk."

"Sesibuk-sibuknya seorang pacar pasti jengukin pacarnya ketika sakit."

"Gue ngga sakit."

"Serah lo deh."

"Emang gue ngga sakit."

"Iya, iyaaaa. Ngga usah bahas itu lagi. Andre pernah hubungi lo setelah masalah di puncak? Pernah jenguk lo? Pernah nanya kabar? Pernah ngabari lo kalo dia dimana? Sama siapa? Ngapain? Pernah? Andre pernah nanya itu?"

"Dia ngga lakuin semua itu karena lagi sibuk."

"Lo nya aja yang terlalu cinta." Ledek Rea.

"Kita saling cinta."

"Itu harapan lo, bukan kenyataannya."

"Rea! Maksud lo apa sih?!" Nada bicara Diva kini meninggi.

Rea menutup laptopnya dengan kasar. Ia menatap sahabatnya yang sekarang menatapnya juga di kasur itu. "Maksud gue, lo lebih baik ninggalin dia sebelum dia ninggalin lo duluan. Seharusnya lo sadar diri dari dulu. Andre itu ngga cinta sama lo!"

"REA!!" Suara Diva menghiasi ruangan ini.

"Gue sebagai sahabat lo bukannya mau hancurin hubungan lo, apalagi mau ceramahin lo. Gue cuma tunjukin kebenaran."

"Mungkin Andre ngga cinta sama gue sekarang tapi gue yakin dia bisa mencintai gue kedepannya."

"Gue saranin lo setarain antara harapan dan keyakinan lo."

"Lo ngga usah ikut campur sama hubungan gue!"

Rea tersenyum masam. Percuma ia menasehati orang yang keras kepala seperti sahabatnya ini. "Gue jadi heran. Lo itu emang baik apa bodoh." Rea pun keluar tanpa melihat Diva lagi. Malas.

Diva tak melihat kepergian Rea. Perlahan ia menutup matanya yang tadi mulai berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ia bertengkar dengan sahabatnya karena cowok.

"Benar kata Rea, gue harus bisa seimbangin antara harapan dan kenyataan. Mungkin gue anggap Nadre juga cinta sama gue karena itu bagian dari harapan gue. Bukan kenyataannya. Lalu bagaimana hubungan gue yang udah hampir setahun ini? Itu cuma sia-sia?"

Perlahan air mata gadis yang tengah terbaring itu menetes. Gue emang bodoh.

"Diva?"

"Va?"

Dengan mata yang masih terpejam, Diva tersenyum kecut mendengar suara itu. Itu suara yang ia rindukan selama beberapa hari ini.

"Diva!"

-----

Jangan lupa tinggakan jejak😙

Setitik Jejak (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang