Hembusan angin

485 63 21
                                    

Si author suka bolak-balik sudut pandang nih, aku gak ngerti lagi.

Oh ya, soal kemarin malam...

Beberapa saat setelah Soraru-senpai pingsan, sebuah jip hitam berhenti di depan gang, dan aku membantu Luz-senpai menggotong Soraru-senpai masuk. Kami menderu ke rumah sakit terdekat dan mengirimkan Soraru-senpai ke IGD dengan segera.  Awalnya para dokter ingin memeriksa darah di bajuku, tapi aku berkata dengan lemah bahwa itu bukan darahku.

Di saat itulah aku baru ingat tentang mayat yang kutinggalin di gang tersebut, dan setelah mendengar para dokter yang berbicara tentang betapa dalamnya luka tusukan di perut Soraru-senpai, wajahku memucat dalam hitungan detik.

SEMUA PISAUKU KETINGGALAN DONG!!!

Sebelum aku sempat berlari keluar, Luz-senpai mencegahku dan menyodorkan sebuah plastik hitam padaku. Dia mengedipkan matanya dan tertawa kecil, "Akoeh ada baju ganti kok di mobil. Kamoeh pake itu aja dulu, Mafu-kyun. Kuh antar kamoeh pulang sekalian. Kuy"

Iya ya, ini udah hampir tengah malem. Siap-siap aja nerima ceramahan Amatsuki nanti. Ngomong-ngomong soal baju, kenapa baju Luz-senpai mewah banget ya? Dengan tuxedo putih bergaris emas, celana panjang putih cemerlang, dan sepatu hak hitam mengkilat, dia kayak habis dari acara penting aja.

Di perjalanan pulang menaiki mobil milik Luz-senpai, aku melihat isi plastik tersebut dan terkejut melihat tiga pisauku ada di dalamnya. Aku memandang Luz-senpai yang duduk santai di sebelahku dengan tidak percaya, "Se- Senpai tau...?"

"Mochiron desu" dia menoel ujung hidungku dengan telunjuknya, spontan membuatku merona, "Soal mayat itu, biar akoeh yang urus, sekaligus akoeh pengen tempe siapa yang berani untuk membuntuti Soraru-san sampai menyerangnya segala"

"Ba- Baiklah jika senpai mau melakukannya..." aku mengangguk sebagai ucapan terima kasihku padanya, dan dia nyengir lima jari sebagai balasan.

Aku pamit pada Luz-senpai setelah aku sampai ke rumah. Nasib banget saudara-saudara, Amatsuki rupanya masih bangun. Melihat bekas darah di sudut bibirku dan mencium baunya yang menyengat, dia menarikku ke kamar mandi dan langsung memandikanku dengan air hangat, menggosok tubuhku untuk menghilangkan baunya, dengan mulutnya yang tak pernah berhenti menceramahiku saat dia membersihkanku.

Setelah selesai, dia membuatkanku secangkir teh hangat yang ku gak tau dia punya soalnya dia kan manusia kola, dan memberikannya padaku, "Minum gak" perintahnya tegas.

"I- Iya, mak..." aku menerimanya takut-takut.

"Sekarang, Mafu-kun" dia duduk di hadapanku, tatapannya keras, "Ceritain semua yang terjadi setelah kau pergi sendiri atau aku akan menyita semua foto Soraru-senpai yang kau punya"

Mendengar ancamannya, tentu aku panik. Namun di samping itu, mendengar namanya disebut, aku dapat merasakan suhu tubuhku meningkat, dan pikiranku mulai berimajinasi liar setelah mengingat ciuman kami tadi. Udah gegara ciuman, ditambah rasa darahnya yang masih terbayang di pikiranku, gak heran imajinasiku kemana-mana.

Bagaimana ya ekspresi Soraru-senpai jika dia menindihku ke kasur, saat dia menyatukan bibir kami berdua? Apakah wajahnya akan tetap datar seperti tadi, atau aku akan dapat melihat ekspresi baru darinya? Oh, mungkinkah tangannya akan kemana-mana? Mengelilingi setiap lekuk tubuhku, mengirimkan suatu gelombang aneh pada diriku? Atau dia akan--.

Aku gak nyadar aku nge-halu sampai Amatsuki menyentil keningku, "Ouch!"

"Mafu-kun, aku tau kamu mulai ngayal yang aneh-aneh, tapi tolong jangan sekarang. Aku masih harus nyuci bajumu yang kotor itu habis ini, maka jangan membuang-buang waktuku"

Tak tega setelah mendengar nada lelah dalam suara Amatsuki, aku menceritakan semuanya, kecuali bagian ciuman itu. Aku sudah berjanji pada Soraru-senpai untuk merahasiakannya.

One, Two, Three, Slash!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang