Encounter

424 67 8
                                    

A/N : Padahal author kangen bikin judul yang receh, tapi apa bole buat...

Soraru memandang keluar jendela rumah sakitnya, sebelum pandangan matanya beralih ke sayatan baru yang sudah dia perban sendiri di pergelangan tangannya. Kekehan pelan terselip dari bibir pucatnya ketika dia senderan kembali di ranjangnya.

"Ah sudahlah, biarkan ikatan benang kita tersambung kembali..."

.

Bocah itu membuka matanya perlahan mendengar suara orangtuanya dari ruang tengah. Dia berusaha menyeret dirinya dari kasur dan beranjak turun. Gidikan merambat di tulang belakangnya saat kaki telanjangnya menyentuh permukaan lantai yang beku. Dengan cengkraman erat pada bantal berwajah ngantuknya, dia berjalan keluar kamarnya.

Langkah pelannya yang pasti membawanya ke ruang tujuannya. Ada celah kecil di antara dua pintu besar itu, cukup baginya untuk mengintip keadaan di dalam.

Dia dapat melihat lima figur di ruangan tersebut. Kedua orangtuanya hadir, sedang duduk di sofa, menghadap pasangan berambut pirang yang menghimpit seorang bocah bersurai putih di tengah mereka. Entah kenapa, baginya surai putih itu sangatlah indah, bagaikan setitik salju. Sayang sekali surai itu terkotori oleh tanah dan... 

Apakah itu darah?

Tangan satunya lagi memegang sisi pintu saat dia memajukan tubuhnya, ingin mendengar apa yang orangtuanya bicarakan dengan mereka.

"Bagaimana? Apa kalian mau membelinya?" sang pria dari pasangan berambut pirang itu angkat bicara, nadanya suaranya terdengar tak sabaran.

"Dimana kau menemukannya? Dia terlihat kotor sekali" ibu dari sang bocah di ambang pintu bertanya, ketidakyakinan dapat dia rasakan dari suaranya.

"Putri kami menemukannya di jalanan" gantian sang wanita yang bicara. Tangannya menepuk surai salju di sebelahnya, dan dia dapat melihat bahwa surai itu bergetar oleh sentuhan tersebut, "Ekonomi kami sedang dalam masa-masa krisis, dan albino ini tentu akan memberi kami uang yang cukup besar"

"Kau tidak salah, Nyonya. Seorang albino memang bernilai tinggi di pasar, apalagi jika dia benar bermata rubi seperti ceritamu" ayah dari sang bocah mengangguk-angguk, menimbang pilihannya. Dia memiringkan tubuhnya ke istrinya, dan putranya dapat mendengarnya berbisik padanya, dan istrinya juga ikut menganggukkan kepala seraya menyilangkan kakinya.

"Baiklah, kami terima" sang ayah bangkit dari tempatnya duduk dan berlutut di hadapan albino tersebut, "Wajah yang manis sekali. Apa kau yakin dia lelaki?"

Pasangan berambut pirang itu saling memandang, seringai licik tumbuh di wajah mereka, "Kami telah mencobanya. Dia positif lelaki"

Sang bocah di ambang pintu mengerutkan kening. Dia mengerti maksud mereka, tapi menolak untuk membayangkan apa yang telah mereka lakukan untuk membuktikan hal tersebut.

"Heh cebol, lo ngapain?"

Sang bocah hampir loncat dari tempatnya, dan segera menolehkan kepalanya ke balik bahunya, "Nee-san! Bikin kaget gue aja lu njir!" dia setengah nyaut, setengah teriak.

"Ya elu sendiri juga ngapain ngintipin otou-san dan okaa-san lagi transaksi" gadis muda di sampingnya itu merengut, namun malah ikut-ikutan ngintip, "Jadi? Siapa yang mereka beli kali ini-- Uwaw" dia terpana melihat sang albino, "Bjir, cantik banget"

"Itu cowok, gblk" 

"Seriusan lu? Tau darimana?" 

Ekspresi sang bocah langsung menggelap, dan kakaknya mengangkat sebelah alisnya, menunggu dia menjawab, "Pasangan yang membawanya... Bilang mereka telah... Mencobanya..." suaranya lirih saat dia mengutarkan jawabannya.

One, Two, Three, Slash!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang