Rencana

390 58 12
                                    

Pada keesokan harinya, Kashitarou, Luz, dan Amatsuki kembali masuk sekolah karena mereka udah madol sampai dua kali, apalagi Amatsuki yang sampai satu hari beneran gak masuk sekolah. Awalnya saat Soraru menyuruh mereka balik, mereka gak nurut, tapi giliran Mafu yang nyuruh, mereka nurut.

"Baiklah jika Mafu-kun berkata seperti itu..." ujar Amatsuki pelan.

"Kau benar, Mafu-san, kita sudah terlalu lama disini" Kashitarou tersenyum kecil.

"Aku nurut aja deh kalau kamu yang ngomong, Mafu-kun" Luz mengangkat bahu.

Setelah mereka bertiga keluar dari kamar 311, Soraru mendelik pada adik kelasnya, "Bagaimana bisa mereka lebih dengerin elu daripada gue?"

Mafu yang udah duduk balik di ranjangnya tersenyum polos, "Gak tau deh!"

"... Untung sayang, ato gak pasti udah gue tampol"

"Bukannya kalo senpai sayang aku harusnya aku ditampol?"

"Jangan nge-maso dulu, dasar"

"Eheheh, canda doang kok~"

Soraru memutar bola matanya, sebelum duduk menghadap Mafu dan duduk sila di atas ranjangnya sendiri, "Daripada gue stress sendiri ngehadepin elu seharian, mending kita ngebicarain masalah serius yang akan pada kita nanti"

Mafu memiringkan kepalanya, "Masalah apa, senpai?"

Soraru menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang diam-diam suka dia lakukan setiap kali dia merasa tak yakin, "... Lu inget gak kehidupan lu 12 tahun yang lalu?"

Mafu berkedip beberapa kali. Senyum lebarnya berubah menjadi sebuah senyum pilu, "Aku... Tinggal di rumah senpai bukan? Bersama Ruko-neechan, Kashitarou-senpai, dan Luz-senpai" sebelum Soraru dapat mengatakan sesuatu, Mafu menyelanya duluan, "Hai, aku sudah ingat semuanya saat aku tak sadarkan diri"

Soraru tak tau harus berkata apa. Dirinya memiliki dua perasaan sekarang. Senang karena Mafu berhasil mendapatkan ingatannya kembali tanpa harus melalui rasa sakit seperti yang dia dan dua sahabatnya takuti, namun dia juga takut Mafu akan membencinya jika dia sadar bahwa seluruh kejadian buruk yang dia alami sejak saat itu adalah salahnya.

"Senpai? Daijoubu ka?"

Tanpa Soraru sadari, Mafu menghilang dari ranjangnya dan sudah berada di sampingnya, memandangnya dengan sepasang rubi merah darah penuh rasa ingin tau dan juga kekhawatiran. Soraru yang tersentak dengan kehadiran tiba-tibanya menyeret dirinya mundur dengan wajah merona.

"Bilang-bilang dulu napa kalo lu mau naik ke ranjang gue" gerutu sang surai biru gelap.

"Habisnya senpai bengong sih, kan aku khawatir!" seru sang surai salju.

Soraru mendengus, "Itu bukan urusanmu, soalnya yang jadi masalah itu elu"

Mafu menunjuk dirinya sendiri, "Aku? Tentang apa?"

"Ingatan lu dah balik kan? Lu inget gak kejadian 10 tahun yang lalu?"

Mafu ber-"ehh..." pelan. Dia memandang ke atas dengan telunjuknya terletak di dagunya, berusaha mengingat. Sekitar beberapa menit kemudian, Mafu kembali memandang senpai-nya, pancaran matanya kesakitan, "Yang itu bukan sih, senpai... Yang aku diculik...?"

Soraru mengangguk. Suaranya lembut saat dia bertanya lagi "Kau ingat siapa yang menculikmu?"

Mafu membalas dengan anggukan serupa, "Pria berambut merah dengan tawa licik itu... Hendak mengambil jantungku untuk diperjualbelikan..."

"... Aku tau. Kemarilah" Soraru meraih bahu Mafu dan menariknya ke sebuah pelukan erat. Mafu bingung sendiri kenapa tiba-tiba senpai-nya seperti ini. Soraru bukanlah tipe yang bisa mengekspresikan emosinya segamblang ini. Sang albino kemudian menyadari bahunya yang menjadi tempat bersandar kepala Soraru mulai terasa basah.

One, Two, Three, Slash!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang