Derita (1)

445 70 29
                                    

Aku terbangun mendengar suara ribut dari luar kamar. Apaan tuh? Pagi-pagi udah berisik aja... Aku terduduk di kasur, mengucek-ucek mataku dan menguap lebar, masih berusaha untuk ngumpulin nyawa. Aku menyeret diriku turun dari kasur dan berjalan terkantuk-kantuk keluar kamar, ingin tau penyebab suara itu.

"Masih belum juga?!"

Langkahku terhenti mendengar teriakan Amatsuki dari arah dapur. Ama-chan kenapa? Kok nadanya marah banget?

"Kamu kuat juga huh?! Mau terus kupotong-potong nih ceritanya?!"

Aku mengedipkan mataku dan sedikit jinjit ke dapur supaya nggak kedengeran Amatsuki. Aku mengintip dari ambang pintu untuk melihat apa yang ibuku-- eh sahabatku lakukan.

Amatsuki sedang memegang sebuah pisau besar, dengan celemek pink-nya ditutupi oleh bercak-cak merah berbau amis. Dia mengayunkan pisaunya dengan cepat dan sadis ke sebuah daging tebal di talenan. Sesekali decakan kesal keluar dari mulutnya saat tampaknya dia tidak memotongnya dengan benar.

"Nyesel aku beli daging yang belum dibersihin!" geramnya sebelum pisaunya berayun lagi.

Aku yang diam berdiri di dekat pintu dapur hanya bisa menonton dengan kagum.

Sasuga Natural Psychopath-san.

"Ano... Ama-chan...?" panggilku pelan.

Dia menoleh ke arahku, dan seketika aura hitam yang semula ada di sekelilingnya menghilang, dan senyum lebarnya yang hampir secerah bintang yang jadi antingnya itu segera terukir di wajahnya, "Ah! Ohayou, Mafu-kun~! Apa aku membangunkanmu? Gomen ne!"

"Iie, daijoubu" aku tersenyum kecil padanya, "Mau kubantu, Ama-chan?"

Dia tampak menimbang-nimbang pilihannya, "Selama aku nggak kena tusuk, maka baiklah!"

.

Setelah sarapan yang benar-benar bikin kenyang itu, aku dan Amatsuki berangkat ke sekolah. Kami habiskan perjalanan kami dengan obrolan ringan, sesekali aku iseng padanya, dan dia hanya bisa tertawa walaupun dirinya merasa kesal oleh tindakanku.

Kami masih mengobrol saat kami melewati gerbang sekolah, namun segala ucapanku terhenti tiba-tiba melihat sekelompok orang yang berdiri di hadapan kami. Aku mendelik pada mereka dari sudut mataku, dan tanpa mengalihkan perhatianku dari mereka, aku berkata kepada Amatsuki, "Ama-chan, kau ke kelas aja duluan"

Ekspresi cerah Amatsuki memudar perlahan. Dia mengganguk tanpa berkata apa-apa lagi sebelum berlari ke arah lain, menjauhiku dan sekelompok orang itu yang mulai berjalan ke arahku. Aku memandang mereka dengan tak suka,

"Selamat pagi, Lon-senpai" sebisa mungkin aku menanamkan racun dalam setiap hurufnya, membuat ucapanku terkesan mengintimidasi.

"Sebenarnya kamu ini spesialnya apa sih, anak terkutuk?" ejek Lon-senpai, "Udah rambut putih kayak kakek-kakek gitu, matanya merah banget, dan ini apa hah?" dia menunjuk-nunjuk tanda barcode di pipiku kiriku, "Emangnya kalau di-scan ini ada harganya? Ada-ada aja"

Aku tertawa hambar dalam hati. Lebih baik jika mereka tak tau.

"Jadi apa yang Kashitarou lihat pada dirimu, anak terkutuk?" aku menyerengit saat Lon-senpai menjambak rambutku dengan kasar, "Mungkin dia hanya kasihan padamu, sehingga dia mau-mau aja berteman denganmu. Beraninya kau memanfaatkan kebaikan Kashitarou"

Dipikir-pikir ulang, Lon-senpai mungkin ada benarnya. Mungkinkah Kashitarou-senpai mau berteman denganku hanya karena dia tak tega melihatku dibuli terus?

Lutut Lon-senpai tiba-tiba terbang ke dadaku, mengenai tepat tengahnya, membuatku jatuh berlutut di lapangan. Aku terbatuk-batuk, nafasku terasa sangat sesak saat itu. Sebelum aku dapat bangkit kembali, tinjunya melayang mengenai wajahku, dan aku terbatuk lagi oleh darah yang mengalir dari mulutku kali ini.

One, Two, Three, Slash!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang