The Sky

462 59 20
                                    

Aku berjalan ke jendela rumah sakit setelah menghabiskan makan malamku, mengangkat kepala ke langit malam yang berkilau oleh bintang yang tak terhitung jumlahnya, tak akan berhenti bercahaya sampai waktu mereka habis. Sang rembulan seakan-akan menatapku dengan pilu, cahayanya yang lembut menyinari Bumi berserta penghuninya.

Helaan nafas keluar dari bibirku, dan aku menutup tirai kamar. Aku beranjak ke sisi Amatsuki yang sudah terlelap sejak sore, membenarkan posisi selimutnya sedikit. Aku berjalan ke ranjang Mafu, mengelus-elus rambutnya dengan sayang sebelum naik ke ranjangku sendiri.

Aku melayangkan lenganku di atas mataku. Hitam yang mengambil alih pandanganku mulai menampakkan pemandangan yang berbeda. Aku melihat diriku dengan seragam sekolah, dengan senderan di tembok kawat yang berdiri di pinggiran atap sekolah saat langit mulai menampakkan semburat oranye.

Ah, aku ingat sore itu.

Sore dimana aku bertemu dengan malaikatku kembali.

Aku terkadang suka naik ke atap sekolah untuk melihat laporan harian yang Tomohisa kirimkan padaku. Di atap tuh enak. Udah adem, sepi, dan bikin aku bisa menikmati sang langit dengan lebih tenang. Sejauh ini belum ada apa-apa jika menurutnya. Belum ada kiriman senjata atau narkoba baru, ataupun polisi yang menggebrek gudang.

Baguslah, mager kalo lagi sekolah tiba-tiba ada sesuatu yang memerlukan kehadiranku. Setelah aku berterima kasih pada pengawas dalam keluargaku itu, aku beranjak turun dari atap sekolah dan mulai berjalan keluar gerbang. Itu pun sampai aku melihat segerombolan adik kelas sedang membuli seorang lelaki bersurai salju.

Mataku membulat, dan tubuhku menegang dalam beberapa detik. Aku tidak tau bahwa dia masuk SMA ini juga.

Dituntun oleh refleks, aku menyuruh mereka untuk melepaskan malaikatku. Mereka pasti mengenali suaraku, karena setelah berbalik mereka langsung kalang kabut bagaikan aku adalah seorang guru killer. Secara teknis, aku memang seorang killer.

Oke lanjut.

Aku yang sudah biasa menyembunyikan emosiku mengulurkan tanganku padanya, dan dia menerimanya dengan malu-malu. Aku tersenyum dalam hati. Tangannya masih selembut yang kuingat, dan rona tipis di pipinya selalu membuatnya tampak menggemaskan. Sayangnya semua dinodai oleh lebam dan gores di sekujur tubuhnya itu.

"Para senior br*ngs*k itu, membuli junior aja terus kerjaannya..." kemarahanku terkumpul dalam dadaku melihat luka-lukanya. Sampai-sampai kata kasar itu kukeluarkan. Awas aja, ntar kusuruh Tomohisa untuk membereskan mereka, itupun jika aku dibolehin Ayah...

Kalo Ayah gak ngebolehin, aku bisa membereskan mereka semua sendiri kok.

"A- Ano, senpai... Arigatou..." ujarnya pelan setelah terdiam sesaat.

Kami-sama, suaranya bahkan masih sama seperti yang kuingat. Manis, feminim, dan ringan. Masa sih dia belum puber? Gak mungkin. Kita udah SMA. Apa jangan-jangan puber yang bikin dia makin gemesin? 

Hanya Kami-sama yang tau betapa rindunya diriku mendengar suaranya. Meraih kontrol atas emosiku sendiri, aku mengangguk, "Lain kali jangan segan-segan untuk minta bantuan..."

Aku berhenti sejenak untuk melirik name tag-nya. Yap, dia memang benar malaikatku. Satu-satunya hal yang berbeda mungkin hanya barcode ini pipinya itu--

Ah sial, suara hujan tiba-tiba menggema di telingaku. Aku berusaha untuk membuang bayangan berkabut itu dari pikiranku supaya bisa lanjut bicara, "Mafu-san. Hati-hati di perjalanan pulang" takut jika tangisku mungkin tumpah jika aku mengingat hari itu terlalu lama, aku pun berbalik pergi, meninggalkan malaikatku terpana di tengah lapangan.

Iyalah terpana, kan aku ganteng sangat.

//author mah iyain aja deh.

Malam harinya, aku bercerita ke keluargaku tentang pertemuanku dengan malaikatku di sekolah. Ayah tampak sangat lega, Ibu menangis senang, dan Kakak nyebelinku hanya mengangguk-angguk dengan senyum kecil. Hilih, aku yakin dia juga seneng kok mendengar kabar tentang malaikatku itu. Dasar tsundere.

//ngaca Sor, sendirinya tsundere ye.

Pagi harinya saat aku lagi sarapan, aku dapat pesan dari si topeng rubah, berkata bahwa dia juga diberitau oleh ayahku bahwa malaikatku satu sekolah denganku. Aku terkejut saat dia bilang dia akan keluar dari sekolah asramanya dan pindah ke sekolah yang sama denganku demi dirinya.

Srh lu aj dh.

Begitulah balasanku di chatroom kami.

Di sekolah, aku bertemu dengan si jerapah dan si hemaprodit kebanyakan make-up. Aku segera bertanya pada Luz apakah dia tau bahwa malaikatku ada di sekolah ini juga. Dengan entengnya dia jawab bahwa dia tau, dan dia mulai meracau tentang betapa lucunya malaikatku yang sudah remaja itu.

Sebelum aku dapat menyikut lehernya, Naruse menahanku.

"Kasian Luz-kun woy"

"Kesambet apa lu tiba-tiba peduli sama dia?"

"Soalnya kapan lagi gue bisa temenan sama jerapah hybrid pedo? Spesies langka kayak gini kan harus dilestarikan"

"Bodo amat, inu"

Langsung aja temanku yang lagi ngerjain pr nengok.

"Bukan lo, anjhenk. Jangan geer"

//mulutnya Sor... Cuci dulu sono.

.

Sejak hari itu, aku tau bahwa di antara kerumunan cewek-cewek centil yang demen banget ngikutin aku, pasti ada sepucuk surai salju yang menyembul dari mereka. Malaikatku punya insting yang tajam. Sekalinya aku mengarahkan pandanganku ke arahnya, pucuk kepalanya langsung ilang.

Beberapa minggu kemudian, Kashitarou masuk ke sekolah ini. Dia bilang dia harus mindahin barang-barangnya dari asrama dan harus ngurus hal-hal semacam itu, jadinya lama. Kukira dia akan langsung daftar kesini setelah dia mengabariku pagi itu.

Melihat Kashitarou, Luz loncat dari bangkunya dan memeluk si topeng rubah, dan dia hanya menepuk-nepuk punggung si jerapah seperti dua teman yang sudah tak lama bertemu sejak jaman pemerintahan Daendels.

Naruse dan Kradness hanya mengangguk sopan karena mereka tak terlalu mengenal Kashitarou. Mungkin hanya mengenalnya dari status (rahasia)nya sebagai seorang yakuza.

Kain membungkuk hormat pada putra sensei-nya, dan Kashitarou hanya tertawa kecil seraya ikut membungkukkan tubuhnya.

Saat istirahat, Kashitarou memanggilku dan Luz ke ruang OSIS, dan kami pun mengikutinya, berusaha menghindar dari kerumunan para cewek. Untungnya, aku tak melihat pucuk salju malaikatku dimanapun. Atau mungkin dia ada cuman aja aku gak liat. 

Au ah silau kayak senyumku.

Di ruang OSIS, sang Ketua, sang pengumpul informasi terpercaya dari klan Itou, Eve, menyambut kami dengan senyum sopan, "Kashitarou-san, Soraru-san, Luz-san, aku sudah mengosongkan ruang OSIS untuk kalian. Kalian silakan gunakan sampai istirahat selesai"

Dengan itu dia beranjak pergi meninggalkan kami.

"Jadi ngapain lu manggil kita kesini? Cepetan, gue mau tidur"

Gerutuku pada si rubah yang hanya tersenyum tanpa dosa.

"Aku ingin membicarakan tentang Mafuyu-chan, Soraru-san"

Telingaku bergerak mendengar nama lengkapnya disebut. Siapa butuh tidur kalau ada sesuatu tentang malaikatku yang kudu wajib kudengar? Aku duduk di atas meja, dan Luz duduk di kursi di sampingku.

"Baik, lu dapet perhatian gue. Apa yang ingin kau bicarakan tentang Mafu?"

Soraru's side : End.

~~~

A/N : Yeah, flashback time buat memenuhi plot kosong karena author lagi bingung lanjutin ceritanya. Kebiasaan ehehe.

Soraru : Btw gue capek njir pake bahasa kasual cem begini. Disuruh author jangan pake bahasa gaul sih. Biar gak ilang filingnya.

//feeling Sor, hadeeehhh... Kau kata filing kue?

See you next time!

One, Two, Three, Slash!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang