Prilly mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum matanya benar-benar terbuka. Menatap ke sekelilingnya Prilly tahu di mana dia berada sekarang.Di kamarnya. Siapa yang membawanya kemari? Bukankah terakhir dia berada di pemakaman? Lalu bagaimana pemakaman orang tuanya apakah sudah selesai?
Prilly buru-buru ingin beranjak namun tertahan akibat dentaman kuat pada kepalanya. Kepalanya terasa begitu sakit hingga membuatnya meringis.
"Kamu sudah bangun Dek?"
Prilly menoleh tersenyum kecil pada Ali. "Udah Mas. Kak Linda mana?" Tanyanya setelah menyenderkan tubuhnya pada kepala ranjang.
Ali menaruh nampan berisi nasi dan lauk serta segelas air putih di atas meja di sudut kamar Prilly.
"Kak Linda masih di makam. Kamu tadi pingsan makanya Mas bawa kamu pulang." Ali mendudukkan dirinya di sisi ranjang.
Dia memilih membawa Prilly ke kamarnya tadi dari pada kamar orang tua Prilly, dia takut Prilly akan histeris jika berada di sana. Syukurlah ada orang rumah yang menunjuk kamar Prilly tadi.
Prilly kembali meneteskan air matanya, dia ingin berada di sana melihat orang tuanya untuk terakhir kalinya. Namun dia tahu maksud Ali baik dan jika dia paksa pun dia yakin semuanya akan kerepotan karena dirinya.
Prilly menyesal kenapa dari kemarin menolak memakan apapun yang di sodorkan keluarganya hingga akhirnya dia harus berakhir dengan berbaring di ranjang seperti ini. Prilly tahu kondisi tubuhnya tidak fit bahkan sekarang mengangkat tangannya saja sepertinya dia sudah tidak sanggup.
"Mas lemes.." Adunya pada Ali. Ali mengusap lembut dengan Prilly sebelum beranjak mengambil nampan yang ia bawa tadi. "Makan dulu ya, kamu lemes karena dari kemarin nggak makan Sayang." jelas Ali yang diangguki Prilly.
Tunggu dulu! Bukankah barusan Ali memanggilnya Sayang? Dia tidak salah dengar bukan?
"Mas.." Prilly memanggil Ali, pria itu langsung menoleh dan menatap lembut kearahnya seketika Prilly salah tingkah karenanya. "Terima kasih karena udah nemenin aku." Matanya kembali berkaca-kaca. Prilly sangat bersyukur dengan kehadiran Ali di sisinya.
Ali tersenyum lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Mas senang kalau dengan kehadiran Mas bisa membuat kamu lebih baik." jawab Ali dengan lembut.
"Sangat baik Mas. Kehadiran Mas benar-benar menguatkan aku." Prilly tidak bohong, sejak Ali disisinya perasaanya jauh lebih baik.
Ali mengarahkan tangannya menyentuh pucak kepala Prilly. "Nah sekarang kamu makan ya. Mas suapin." Ali menyendokkan nasi lalu dia arahkan ke mulut Prilly.
Meskipun enggan tapi Prilly tetap membuka mulutnya. Dia tidak ingin menolak dan berakhir dengan Ali kecewa padanya.
"Mas nggak apa-apa di sini? Sawah Mas gimana?" Tanya Prilly disela kunyahannya.
Ali belum sempat menjawab saat tiba-tiba seseorang menyahut di depan pintu kamar Prilly. "Sawah? Siapa yang ke sawah?" tanya Wina nyaris memekik.
Ali dan Prilly sontak menoleh menatap Wina dengan tatapan berbeda, Ali sedikit bingung dengan sikap gadis ini yang menurutnya terlalu berani dan suka mencampuri urusan orang lain.
Prilly jelas sudah melayangkan tatapan tajamnya pada sepupu kurang ajarnya itu. Bagaimana tidak lihat saja kelakuannya Wina dengan angkuh melangkah masuk ke dalam kamarnya lalu berdiri di depan Ali.
Yang membuat Prilly benci adalah tatapan yang Wina sematkan pada Ali. Wina menatap Ali layaknya singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya dalam konteks Wina mangsanya tentu saja Ali.
"Keluar lo Win! Nggak sopan banget lo masuk kamar orang tanpa ijin!" sembur Prilly kejam. Hilang sudah rasa lemasnya malah kini tubuhnya mulai memanas karena lonjakan emosinya pada Wina.
Wina melirik Prilly sekilas lalu berdecih. "Lo belum jawab pertanyaan gue siapa yang ke sawah seperti yang tadi lo bilang?"
"Ada kewajiban apa sampe gue harus jawab pertanyaan lo?"
Ali memijit pelipisnya mendengar perdebatan antar sepupu ini. "Saya. Saya yang ke sawah karena saya seorang petani." Prilly menatap tajam ke arah Ali yang tiba-tiba mengeluarkan suaranya.
Ali meringis pelan ketika melihat tatapan tajam Prilly padanya. Tapi dia hanya ingin melerai perdebatan ini. Itu saja.
"Jadi lo petani?" Wina bertanya setengah memekik, dia masih belum percaya kalau pria tampan yang sejak semalam sudah menjadi targetnya ternyata hanya seorang petani. "Nggak mungkin. Nggak mungkin seorang petani bisa memiliki mobil semahal mobil lo itu." Wina berusaha membantah kabar buruk ini. Sangat buruk, bagi Wina kabar tentang Ali seorang petani benar-benar buruk.
"Itu punya teman saya. Saya hanya meminjam." jawab Ali kalem.
Prilly mengalihkan pandangannya ke arah lain, wajah shock Wina benar-benar lucu sekali. Dengan tangan terkepal Wina menghentakkan kakinya. "Gue nggak mau sama cowok miskin apalagi petani!" Teriaknya sambil menunjuk Ali.
Ali mengerutkan keningnya bingung, "Saya tidak merasa menyukai Mbak. Jadi saya nggak masalah dengan itu semua."
Prilly tersedak tawanya. Wajah pucatnya sama sekali tidak bisa menghentikan tawanya. Ali menatap gadis mungilnya yang sedang tertawa sedangkan Wina beranjak keluar setelah mengumpati Ali.
Ali tidak menghiraukan kelakuan Wina toh sejak awal dia memang sudah risih pada gadis itu.
"Kenapa ketawa?" Tanyanya sambil merapikan rambut Prilly.
"Wina lucu. Dia pasti langsung bayangin kamu main lumpur makanya jijik begitu." Prilly berkata disela tawanya.
Ali mengangguk setuju. "Memang wajar sih kalau cewek apalagi cewek kota jijik sama pria miskin kayak aku. Mainannya lumpur giliran naik mobil malah minjem." Kata Ali santai, dia tidak terlihat rendah diri hanya saja dia berkata apa yang sering dia alami.
Memang benar, Ali sudah sering di tatap seperti yang Wina lakukan ketika ada perempuan yang bertanya di bekerja apa dan ketika dia jawab seorang petani maka mereka akan memilih menghindar setelah menatap jijik ke arahnya.
Tentu saja perempuan yang dimaksud Ali adalah mereka yang tidak kenal siapa Ali sebenarnya.
"Aku nggak gitu." ketus Prilly tiba-tiba. Ali menaikkan sebelah alisnya menatap Prilly yang sedang mengerucutkan bibirnya. "Aku nggak mandang Mas jijik pas Mas bilang Mas itu petani."
Ali tersenyum kecil. "Ya kan Mas nggak bilang kamu loh. Mas bilang cewek-cewek lain. Lagian wajar kan jaman sekarang penampilan jauh lebih penting."
"Aku nggak gitu. Aku sih yang penting setia aja. Masalah penampilan apalagi mobil atau apa itu nomor sekian." ujar Prilly berapi-api.
"Jadi nggak masalah kalau sama Mas yang cuma petani ini?"
"Ya nggak dong. Yang penting Mas setia aja udah."
"Jadi kalau Mas lamar kamu nggak bakal nolak dong?"
"Ya nggak lah lagian aku juga ma-- Mas bilang apa tadi?" Prilly baru sadar kalau Ali menyebut kata 'lamar' tadi. Lamar? Maksudnya melamar dirinya begitu? Ali melamar dirinya iya kan? Iya nggak sih?
Ali tersenyum manis, "Habisin nasi ini dulu baru Mas akan ngulang perkataan Mas tadi."
Yah Ali.....
*****