Keesokan harinya Ali segera membawa istrinya menuju praktek dokter yang berada di perbatasan kampungnya. Semalaman dia tidak bisa tidur karena memikirkan kemungkinan kalau istrinya sedang hamil saat ini seperti yang dikatakan Clara.Prilly juga sama gugupnya hanya saja dia lebih tenang tidak menggebu-gebu seperti suaminya, bukan apa-apa dia tidak ingin terlalu berharap takutnya nanti dia kecewa. Terlebih ketika posisinya sebagai menantu belum di terima oleh Ibu tiri Ali.
Prilly sama sekali tidak ambil pusing dengan kesinisan Ibu Ali padanya toh yang penting orang rumahnya sudah tahu kalau dirinya dan Ali adalah pasangan suami istri seperti Aldo dan Clara.
"Nanti malam kalau kamu sanggup ketika ke rumah kepala desa dan tokoh masyarakat di sini ya Sayang." Ali menggenggam tangan istrinya dengan mata fokus ke jalanan.
Prilly mengangguk setuju, dia juga suntuk jika di rumah terus apalagi menghadapi kesinisan Ibu tiri Ali. "Iya Mas."
"Kamu kenapa Sayang?"
Prilly menoleh menatap suaminya. "Enggak apa-apa kok Mas." Dia tidak mungkin mengeluarkan uneg-unegnya pada Ali yang terlihat begitu cerah saat ini.
Sepertinya Ali benar-benar berharap kalau dirinya hamil. Tanpa sadar sebelah tangan Prilly yang bebas menyentuh perut ratanya. Jalanan kampung Ali cukup ramai apa lagi di saat musim panen begini kata Ali panen di kampung mereka akan berlangsung mungkin sekitar satu minggu lagi.
"Itu sawah kamu semua Mas?" Tanya Prilly saat melihat bentangan sawah yang begitu luas.
Ali mengangguk pelan. "Nggak semua sih ya ada beberapa hektar di sana." Ali menunjuk ke arah kiri sebelum kembali memegang setir mobilnya.
"Ini udah memasuki perbatasan desa Sayang jadi sawah di sini sudah bercampur dengan sawah orang. Tapi kalau yang di desa sana itu punya almarhum Ayah semua." Ali menjelaskan pada istrinya, Prilly selalu suka ketika mendengar cerita Ali seperti ini. Suaminya terlalu sederhana bahkan ketika menceritakan seberapa banyak harta yang dimiliki olehnya saja suara Ali biasa saja tidak ada kesombongan sama sekali.
"Memang tuan tanah kamu Sayang ya?" Goda Prilly dengan senyuman gelinya. Ali tertawa kecil, "Itu semuanya punya almarhum Ayah, Mas cuma ngelola aja." sahut Ali merendah.
Padahal Prilly tahu melalui cerita Mbok Darmi kalau semua itu hasil kerja keras suaminya. Peninggalan almarhum Ayahnya memang banyak tapi tidak sebanyak yang dimiliki Ali sekarang.
Ratusan hektar sawah bahkan menurut cerita Mbok Darmi hampir semua sawah di desa mereka itu milik Ali. Belum lagi kekayaan Ali yang lainnya. Astaga, sekarang Prilly semakin mengerti kenapa Ibu mertuanya begitu ingin 'menguasai' Ali.
Jika semuanya dilakukan dengan perasaan tulus Prilly tidak akan keberatan hanya saja dia muak ketika melihat Ali diperlakukan seperti ini. Ibu tirinya terlalu menjajah Ali.
Dan Prilly benar-benar tidak bisa diam saja!
Sepuluh menit kemudian Prilly sudah tiba di tempat praktek Dokter. Ali dan Prilly di sambut ramah oleh Dokter cantik bernama Shella.
Ayolah siapa yang tidak tahu tuan tanah dan orang terkaya di kampung sebelah sosok Ali sudah sangat dikenali oleh orang-orang di desanya dan juga desa tetangganya. Ali dikenal tidak hanya karena kekayaan tapi juga karena kerendahan hati dan sikap dermawannya.
Prilly benar-benar beruntung memiliki Ali sebagai suaminya, kebahagiaannya bersama Ali benar-benar terbukti nyata apa lagi jika dirinya benar-benar positif hamil maka kebahagiaan dirinya dan suami akan semakin lengkap.
**
Ali tak henti-hentinya mengecup punggung tangan istrinya. Perasaannya luar biasa bahagia ketika Dokter Shella membenarkan jika istrinya sedang berbadan dua.
Prilly sendiri masih terlalu kaget bahkan matanya tak teralihkan dari foto USG yang ada ditangannya. Prilly masih antara yakin dan tidak ketika dokter Shella melakukan serangkaian tes hingga akhirnya Dokter cantik itu membenarkan kalau dirinya sedang mengandung saat ini.
"Mas."
"Iya Sayang." Ali benar-benar tidak bisa menutupi kebahagiaannya.
Prilly menoleh menatap suaminya yang terus saja menebarkan senyuman. Hingga tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Mas bahagia?"
"Pertanyaaan bodoh macam apa itu Sayang? Tentu saja Mas bahagia bahkan lebih dari kata bahagia. Seumur hidup Mas belum pernah merasakan perasaan sebahagia ini." Ali berkata dengan menggebu-gebu tanpa menutupi kebahagiaan yang sedang dirasakan olehnya.
Prilly semakin melebarkan senyumannya. "Aku juga Mas. Semoga anak kita sehat terus sampai waktunya tiba dia melihat dunia."
Ali mengamini doa istrinya dengan setulus hati. Tangannya melepaskan genggamannya pada tangan Prilly lalu beralih menuju perut rata istrinya. Di sana ada benihnya yang sedang bertumbuh menuju usia 4 minggu.
"Sehat-sehat terus anak Ayah di sana ya. Jangan nyusahin Bunda." Ucapnya dengan senyuman lebar.
Prilly ikut tersenyum tangannya menimpa tangan Ali yang masih betah berada diatas perut ratanya. "Selalu sehat kok Ayah." balas Prilly dengan menirukan suara anak kecil.
Ali terkekeh geli, mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang dengan tawa dan canda yang membuat orang lain iri akan kebahagiaan mereka.
Dan salah satunya yang paling iri adalah Kenanga.
Wanita itu tidak mengendurkan otot wajahnya. Sejak Prilly dan Ali tiba di rumah. Ali dengan sopan mengecup punggung tangan Ibunya di ikuti Prilly.
"Jangan sentuh saya!"
Tangan Prilly mengambang di udara. Matanya menatap tak percaya Ibu mertuanya lalu beralih menatap Ali yang kini menatap dirinya. Menghela nafas Prilly memilih menyingkir dari sana. "Aku ke kamar duluan Mas." Prilly berlalu dengan wajah masamnya membuat hati Ali tidak nyaman.
"Bu jangan seperti itu, Prilly itu istri aku Bu." Kenanga menatap Ali dengan tatapan tidak percaya. "Kamu berani negur Ibu hanya karena perempuan itu?"
"Dan perempuan yang Ibu maksud itu istri aku Bu. Ibu untuk anak-anak aku." Ali benar-benar tidak nyaman melihat Prilly diperlakukan seperti tadi oleh Ibunya.
Kenanga menghela napas. "Jadi cuma karena perempuan itu kamu tega nyakitin hati Ibu."
Ali baru akan membuka mulut saat tiba-tiba Aldo berdiri di belakangnya. Posisi mereka sama-sama masih di teras rumah.
"Ibu jangan ngedrama deh! Mas Ali bener suka nggak suka sekarang Mbak Prilly istrinya Mas Ali jadi kudu wajib kita sayangi Bu." Aldo entah pulang dari mana bersama istrinya. Ali merasa sedikit terbantu dengan keberadaan Aldo saat ini.
"Eh Mas gimana hasilnya?" Clara mengabaikan suasana tegang Ibu dan anak di hadapannya, dia malah menatap Ali dengan mata berbinar. "Alhamdulillah dugaan kamu bener Clara."
"Tuh kan!" Clara berseru bahagia. "Ada kawan hamil deh aku." Katanya dengan ekspresi bahagia.
Aldo menatap aneh istrinya. "Pusing kepala Ibu liat kalian!" Namun teriakan Ibunya kembali menarik perhatian Aldo.
"Bu seharusnya Ibu tuh senang. Sebentar lagi Ibu bakal punya cucu mana dua lagi di kasih sama Allah. Kenapa sih Ibu nggak mau mensyukuri apa yang sudah Allah kasih kenapa Ibu harus sibuk dengan sesuatu yang belum tentu kebahagiaannya."
"Jangan ceramahin Ibu kamu!"
"Loh aku bener loh Bu. Liat saja kelakuan Ibu sekarang. Ibu sibuk menjodohkan Mas Ali dengan wanita lain sedangkan Mas Ali sudah bawa menantu secantik Prilly untuk Ibu, kenapa Ibu tidak mensyukuri Prilly yang sudah menjadi menantu Ibu?" cerca Aldo tanpa perduli. Suasana semakin tegang bahkan Clara sudah ngacir ke dalam rumah.
Ali menahan lengan Aldo saat Adiknya ingin kembali mencerca Ibu mereka. Kenanga menatap Aldo penuh amarah sebelum berlalu meninggalkan dua putranya.
Setelah kepergian Ibunya, Aldo memfokuskan tatapannya pada Ali. "Mas mungkin aku memang adik paling nggak tahu diri di dunia ini tapi satu hal yang harus Mas tahu, aku akan selalu berada paling depan jika ada seseorang yang ingin menyakiti Mas siapapun orangnya termasuk Ibu."
*****