Bab 24

4.9K 477 18
                                    


Suasana tahlilan terlihat hikmat dan penuh kekeluargaan. Prilly dan Linda tidak bisa menahan air mata mereka ketika Ustadz Khalid, salah satu Imam mesjid yang tinggal di kompleks mereka menadahkan tangan diikuti yang lain untuk mendoakan almarhum orang tua mereka.

Prilly dan Linda duduk di dalam ruang tamu bersama Ibu-ibu yang lain sedangkan untuk bapak-bapak mereka semua berkumpul di bawah tenda yang dipasang oleh Ali sore tadi.

Ali yang sedang menadahkan tangannya mengamini setiap doa yang dilontarkan oleh Ustadz Khalid matanya tanpa sengaja melirik ke arah ruang tamu rumah istrinya. Ali bisa melihat istrinya karena semua gorden rumah dibuka hingga baik yang di dalam maupun di luar bisa melihat langsung.

Ali tahu istrinya sedang menangis, terlihat tubuh Prilly sedikit bergetar meskipun posisinya menunduk namun Ali yakin istrinya sedang menangis saat ini.

Ali mengalihkan pandangannya kembali pada Ustadz yang begitu khusyuk membaca doa. Setelah doa bersama selesai hidangan yang sudah di persiapkan mulai diangkut ke depan.

Ali dan Agus dengan sigap berdiri membantu yang lain, mereka sebagai tuan rumah tentu harus siap. Banyak tamu yang datang membuat Ali dan yang lain sedikit kelimpungan untunglah makanan yang disediakan sangat banyak.

Setelah acara makan bersama, orang-orang yang datang tahlilan kembali disuguhi minuman seperti teh, kopi dan juga ada kopi susu serta aneka macam kue.

Warga yang hadir tidak buru-buru pulang, mereka duduk berkumpul bersama membahas apa saja sambil menyicipi hidangan yang di susun di depan mereka.

Ali dan Agus pamit ke dalam, mereka belum makan karena tadi mereka begitu fokus melayani warga yang datang.

Prilly bangkit ingin menyambut suaminya namu celetukan Wina di sampingnya membuatnya urung bangkit.

"Yakin lo bisa bahagia hidup sama petani miskin kayak laki lo?"

Prilly menoleh menatap tajam sepupunya ini, jika tidak mengingat orang-orang disekitarnya mungkin Prilly tidak akan berfikir dua kali untuk menjambak si Wina ini.

"Lo nggak perlu repot-repot mikirin kebahagiaan gue! Mending lo urusin aja hidup lo jangan ribetin urusan orang lain." tegas Prilly berusaha mengontrol suaranya.

Wina mendengus pelan, dengan wajah angkuhnya dia mendekati Prilly lalu berbisik di depan wajah Prilly yang menatapnya garang.

"Gue cuma kasihan sama lo! Apalagi lo yatim piatu sekarang terus dapat suami miskin lagi. Lo bisa bayangin gimana susahnya hidup lo nanti?"

Prilly nyaris mengacak-acak wajah songong Wina jika Ali tidak keburu memanggilnya. "Sebentar Mas." Prilly menoleh menatap suaminya dengan senyuman manisnya lalu kembali berbalik menatap Wina seketika senyuman manisnya berganti dengan tatapan tajam.

"Kalau lo mau tahu seberapa miskin suami gue. Lo tanya Nando sama Bagus! Gue yakin lo bakal sawan di tempat."

Prilly segera berdiri menghampiri suaminya yang sudah menunggu dirinya. "Ngomong apa sama Wina tadi Sayang?" Ali menggenggam tangan istrinya.

Prilly tersenyum manis dengan manja dia merebahkan kepalanya pada lengan kekar suaminya. "Biasa Sayang. Aku kasih Wina siraman rohani sedikit supaya nggak terlalu melambung takutnya dia jatuh eh nangis lagi." kelakarnya ngawur.

Prilly tertawa dan tawa itupun menular pada Ali. Dengan gemas Ali membenamkan kecupannya pada kening sang istri.

**

Setelah selesai beberes pekarangan dan ruangan dalam rumah Prilly, mereka kembali berkumpul kali ini di ruang keluarga yang terletak tak jauh dari tangga.

Ali duduk bersama keluarga Prilly, mereka ramai yang ingin berkenalan dengan suami Prilly itu. Pernikahan mereka memang mengejutkan beberapa pihak terutama bagi mereka yang tidak hadir ketika malam dimana keputusan Ali dan Prilly menikah keesokan harinya tercetus.

Ali tersenyum sopan pada mereka, menanggapi berbagai pertanyaan mereka seadanya. Ali tidak ambil hati karena ada dari sebagian saudara Prilly yang menatapnya remeh ketika mengetahui profesinya yang hanya seorang petani di kampungnya.

"Kita tidak bisa menganggap petani remeh loh Tante. Di kampung Mama saya banyak petani kaya yang mungkin maaf lebih kaya dari Tante." Kali ini Agus mengambil alih, telinga mulai gatal mendengar rentetan kalimat yang mereka keluarkan untuk memojokkan calon adik iparnya.

Ali tersenyum lebar namun tidak mengatakan apa-apa. Sampai akhirnya Prilly datang bersama Linda yang masing-masing mengambil posisi di samping suami dan calon suami mereka.

"Kenapa Mas?" Linda memeluk lengan Agus tanpa risih. "Ini Tante lagi kenalan sama Ali." Kata Agus kalem.

"Oh iya."

"Eh Linda! Kamu kok bisa-bisanya nikahin Prilly dengan petani miskin!" Seorang Ibu-ibu berbadan gempal menyuarakan pendapatnya dengan suara lantang hingga menarik perhatian yang lain termasuk Wina yang tentu saja tersenyum lebar ternyata ada juga yang berpendapat sama dengan dirinya.

Ali menahan lengan istrinya, memanjangkan tangannya memeluk erat bahu sang istri tanpa malu dia mengecup pelipis istrinya. "Jangan terbawa emosi. Anggap saja ini ujian Sayang." Katanya dengan suara nyaris berupa seperti bisikan.

Prilly menghela nafas dia tidak menjawab hanya saja tangannya terangkat melingkari pinggang suaminya. Dia tidak malu bermesraan di depan keluarganya, selain mereka memang pengantin baru, dia juga ingin menunjukkan kebahagiaan tidak melulu diukur dengan harta.

Sempit sekali sih pemikiran Tante-tantenya ini!

"Begini Tante.." Linda berfikir sejenak jika orang lain melihat mungkin Linda sedang memikirkan kata yang pas agar tidak menyakiti hati orang tua padahal yang sebenarnya adalah Linda lupa siapa nama Tantenya yang bertubuh tambun ini.

"Ekhem! Aku nggak berpatok kalau harta sudah menjamin kebahagiaan. Buktinya anak Tante siapa namanya?"

"Kak Bunga." sahut Prilly dalam dekapan suaminya.

"Ah Bunga. Bukankah Tante sengaja menikahkan Bunga dengan pengusaha batu bara agar kebahagiaan Bunga terjamin tapi buktinya apa?" Wajah wanita yang bertubuh tambun itu seketika berubah.

Prilly langsung menyusupkan wajahnya ke ketiak Ali menyembunyikan tawanya. Ali menatap istrinya. "Kenapa kok ketawa nggak ajak-ajak Mas sih?" bisiknya setengah berbisik.

Prilly semakin terkikik dalam dekapan Ali. Belum sempat Prilly menjawab, Linda terlebih dahulu membuka suara.

"Bunga menjadi di usia pernikahan baju sebiji jagung bahkan suami yang Tante bangga-banggakan karena kekayaannya itu rela meninggalkan Bunga dalam kondisi hamil demi perempuan yang jauh lebih cantik dari Bunga. Nah, sekarang aku tanya gunanya harta apa Tante? Kemana harta yang kita bangga-banggakan? Nggak ada Tante. Semua nggak ada gunanya Bunga tetap menangis sendirian kan Tante?" Semua terkesiap mendengar cerita Linda. Tak banyak yang tahu tentang kisah Bunga itu.

Tante Yuni yang kebetulan di sana menatap Soraya -wanita bertubuh tambun- yang sudah menunduk malu. Wajahnya terlihat merah entah karena marah atau malu. Soraya adalah saudara jauh dirinya dan almarhumah Maminya Prilly. Dia tidak menyangka kalau Soraya tega menghina Ali tanpa mengingat bagaimana putrinya dicampakkan seperti cerita Linda tadi.

Agus menyentuh tangan calon istrinya. "Sudah Sayang. Kasihan Tante kamu." Agus berbisik mengingatkan Linda yang ingin kembali menyerang Tantenya.

"Mas bukannya aku kejam tapi aku hanya ingin menyadarkan mereka-mereka yang berfikiran sempit. Mas terlalu keji rasanya jika setiap kebahagiaan kita nilai dengan rupiah karena bagiku bahagia itu tidak ternilai Mas. Kebahagiaan tidak dapat kita ukur karena muara bahagia itu dari hati." Linda tidak berusaha mengecilkan volume suaranya. Wanita itu berbicara lantang seperti biasanya meskipun fokusnya pada Agus tapi mereka yang ada di sana tahu siapa yang sedang disindir oleh Linda saat ini.

"Hanya orang-orang berhati tulus yang mampu membahagiakan orang-orang yang mereka sayangi. Dan aku yakin Ali mampu membahagiakan Prilly-ku."

*****

With You LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang