Bab 14

4.3K 456 24
                                    


Prilly melipat mukenahnya setelah dia menunaikan ibadah shalat subuh. Melirik sekilas ponselnya lalu menghela nafasnya. Sepertinya semalam Ali melupakan janji untuk menghubungi dirinya kembali padahal dia sengaja begadang demi menunggu pria itu menghubungi dirinya.

Ah, kenapa semalam tidak dia saja yang menghubungi Ali. Bisa saja kan Ali merasa tidak enak untuk menghubungi dirinya, bisa saja Ali kembali ke kamar saat larut malam mungkin Ali fikir dia pasti sudah tidur.

Ah Prilly!

Prilly terus mengupayakan menyelamatkan hatinya dari luka yang bernama kecewa meskipun tidak bisa dibohongi ada bagian dari dalam hatinya yang merasa sedikit kecewa pada Ali.

Hah!

Kenapa semakin kesini perasaan nya pada Ali terasa semakin mencekik. Prilly tidak bodoh untuk mengartikan sesuatu yang berdebar di dalam tubuhnya jika berhubungan dengan Ali.

Dia jatuh hati pada Ali. Jelas, dia sangat tahu akan hal itu tapi bagaimana dengan Ali?

Prilly mengusap wajahnya lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia tidak berusaha menghubungi Ali dan mungkin hari ini dia akan memberi sedikit jarak pada Ali ya walaupun melalui sambungan telfon.

Satu-satunya komunikasi mereka saat ini adalah telfon. Untuk chat sendiri Ali jarang melakukannya telfon saja akhir-akhir ini mulai susah apalagi berchating ria. Sepertinya mustahil.

Dan Prilly tahu Ali sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ali petani dan sudah seharusnya petani sibuk jika sedang musim panen seperti ini.

Prilly kembali menghela nafasnya. Dia tidak ingin memikirkan tentang Ali tapi otaknya selalu berpusat pada pria itu terlebih ketika dengan manisnya Ali mengatakan kangen beberapa waktu lalu di sanalah hubungan mereka mulai terjalin intens namun tetap saja tidak ada status yang mengikat mereka.

Prilly memejamkan matanya kembali saat tiba-tiba pintu kamarnya di buka dengan kasar. Baru saja Prilly ingin menyembur Kakaknya yang pagi-pagi begini sudah mencari gara-gara dengannya.

Namun semua kata pedas yang ingin dia semburkan tertelan kembali saat melihat Linda menghampiri ranjangnya dengan simbahan air mata.

"Ya Allah Kak. Kakak kenapa?" Prilly seketika panik terlebih ketika tangis Linda semakin kencang.

Linda tidak menjawab hanya pelukannya pada Prilly mewakilkan bagaimana hancurnya perasaannya saat ini.

Prilly membalas pelukan erat Kakaknya. Dia juga ikut meneteskan air mata, Kakaknya tidak pernah menangis sehisteris ini. Kakaknya terbiasa menganggu dirinya dengan kata-kata penuh candaan bukan tangisan menyayat hati seperti ini.

"Dek kita harus bagaimana setelah ini. Hiksss.." Linda meracau disela isak tangisnya. Prilly benar-benar bingung dia tidak tahu apa maksud Kakaknya.

"Kak ngomong yang jelas. Kakak tenang dulu terus cerita sama aku sebenarnya ada apa? Kenapa Kakak nangis seperti ini?" Prilly bertanya sambil melepaskan pelukannya. Tangannya terulur menyeka air mata di wajah Linda meskipun air matanya sendiri mulai mengucur deras.

Tangisan Linda semakin kencang saat melihat wajah sendu Adiknya. Linda menggenggam erat tangan Adiknya lalu kembali menangis terisak-isak.

Prilly ikut menangis bersama sang Kakak. Keduanya larut dalam tangisan sampai akhirnya Linda mendongak menatap Adiknya.

"Mami.." Linda tidak bisa melanjutkan perkataannya karena air matanya kembali mengucur deras. Perasaan Prilly seketika tidak enak, namun dia memilih diam membiarkan Kakaknya kembali bercerita.

"Mami sama Papi meninggal..."

Dan Prilly dunianya seperti rubuh jatuh menimpa dirinya. Dadanya terasa sesak bahkan menarik nafas saja dia tidak sanggup.

"Nggak mungkin! Nggak mungkin! Mami! Papi! Mamiii!!"

Dan teriakan itu terhenti seiring dengan kesadaran Prilly yang menghilang..

**

Setelah pembicaraannya semalam dengan sang Ibu, Ali benar-benar dibuat pusing hari ini. Bagaimana tidak Ibunya menolak berbicara dengannya jika dia menolak menikahi Fifa, keponakan jauh Ibu tirinya.

Ali mengenal Fifa beberapa waktu lalu dia sempat bertemu dengan gadis itu. Namun dia hanya sebatas mengenali dalam artian melihat dan mengetahui nama saja, mereka tidak pernah berbicara atau tepatnya Ali menolak untuk melakukan hal-hal yang menjurus ke pendekatan.

Cantik? Lumayan, tapi tetap lebih cantik Prilly menurutnya.

Menarik? Biasa saja. Malahan menurut Ali wajah Fifa terlihat lebih tua dari umurnya mungkin karena wanita itu hobi memoles wajahnya dengan make up- make up tebal.

Jika disandingkan dengan Prilly yang cantik serta menarik dengan caranya yang alami tidak terkesan di buat-buat maka Fifa jelas-jelas tertinggal jauh.

Ah, sejak semalam hanya Prilly yang ada dipikiran Ali. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Prilly jika sampai tahu masalah ini. Memang mereka tidak berpacaran tapi kedekatan hati mereka jelas bukan hal yang bisa dianggap main-main.

Ali mengusap wajahnya dengan kasar. Saat ini dia sedang berada di salah satu gubuk di sawahnya. Ali tidak bersemangat sama sekali bekerja hari ini. Pikiran dan hatinya sedang kacau belum lagi Ibunya yang melakukan aksi mogok bicara dengannya.

Kepala Ali benar-benar nyaris pecah karenanya. Ali mengusap wajahnya lalu dia keluarkan ponsel yang sejak semalam dia matikan. Bukan apa-apa dia tidak bisa menghubungi Prilly ditengah kegundahan hatinya.

Ali merasa bersalah karena mengabaikan Prilly sejak semalam dan siang ini dia sengaja tidak ke gudang agar bisa menelfon Prilly. Suasana gubuk yang berada ditengah sawah ini lumayan sepi apalagi siang hari seperti ini para petani pasti sedang beristirahat.

Hanya semilir angin yang menemani Ali di sini. Suasana sepi seperti ini sangat cocok bertelfonan ria dengan Prilly. Senyuman Ali mengembang seketika saat sambungan telponnya di jawab oleh Prilly.

"Ha--" Ali segera menghentikan sapaan cerianya ketika mendengar isak tangis Prilly di seberang sana. Seketika Ali terserang rasa panik dan cemas yang luar biasa, senyumannya perlahan luntur tergantikan dengan wajah paniknya.

"Dek kamu kenapa? Sayang jawab Mas! Jangan bikin Mas takut." Namun hanya tangisan Prilly yang terdengar semakin kencang di seberang sana yang diterima Ali.

Ali mengumpat tanpa sadar, tubuhnya segera meloncat dari gubuk mencari sandalnya lalu bergerak menuju rumahnya.

"Sayang Mas mohon katakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu menangis seperti ini eum? Mas takut kamu kenapa-napa di sana." mohon Ali penuh kesungguhan bahkan dia tidak sadar sudah dua kali memanggil Prilly dengan panggilan Sayang.

"Mass.. Hiks.."

"Iya Sayang. Kenapa? Katakan sama Mas kamu kenapa?"

Ali mengeram pelan saat mendengar tangis pilu Prilly di seberang sana. Hatinya seperti tercubit ketika mendengar suara tangisan Prilly, dadanya ikut terasa sakit.

"Papi sama Mami aku meninggal Mas.. Hiksss..."

Dan seketika tangis Prilly kembali terdengar begitu pilu dan menyayat hati.

Jantung Ali seperti tercabut dari rongga dadanya. Hatinya ikut sakit mendengar kesakitan Prilly. Dan tanpa pikir panjang Ali segera berkata. "Tunggu Mas! Mas akan segera tiba di sana."

Ali memutuskan sambungan telfonnya lalu bergerak cepat menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang Ali menelfon orang kepercayaannya.

"Segera antarkan mobilku ke rumah! Sekarang juga!"

Ali berlari kencang menuju rumahnya dia tidak akan membuang-buang waktu dan membiarkan Prilly menangis kesakitan tanpa dirinya.

'Tunggu Mas Sayang!'

*****

Pdf Takdir Cintanya ready yaa..

With You LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang