Prilly mengerjapkan matanya saat mendengar suara Ali yang sedang berbicara dengan-- sepertinya Ibu tirinya."Maafin Mas Bu. Mas beneran lupa. Apa? Hari ini? Kok mendadak banget Aldo dan Clara menikahnya Bu?"
Prilly memilih memejamkan matanya. Ali sedang berada di balkon kamarnya saat ini, mungkin dia tidak ingin istrinya terjaga hingga suaranya di stel semaksimal mungkin. Namun sayangnya Prilly justru terjaga ketika mendengar suara bisik-bisik suaminya.
"Maaf Buk. Tapi, sebenarnya ini tidak bisa dibicarakan di telfon jadi lebih baik Ibu pulang dahulu dan kita bicarakan di rumah."
Prilly mengeratkan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Dia malas bergerak kepalanya terasa pusing apalagi ketika mendengar suara Ali yang benar-benar tidak berdaya jika sudah berhadapan dengan Ibunya. Ayolah! Prilly tidak bermaksud membuat Ali durhaka hanya saja apa dia harus berdiam diri melihat suaminya memohon terus menerus padahal Ali tidak melakukan kesalahan apapun.
"Iya Buk. Maafin Ali ya Buk. Eum, Mas nggak bisa janji, lagi pula untuk apa gaun semahal itu Bu bukannya mereka cuma menikah saja tidak ada pesta?"
Terdengar helaan nafas panjang Ali pertanda pria itu sedang tertekan.
Cukup sudah! Prilly sudah tidak tahan lagi.
Dengan perlahan Prilly bangkit dari ranjang dan seketika kepalanya berdenyut sakit. "Aw!!"
Ali terkejut ketika mendengar pekikan istrinya, pintu balkon sengaja tidak dia tutup rapat hingga bisa mendengar suara istrinya.
"Bu nanti Mas hubungi lagi." Tanpa mengucapkan salam Ali segera memutuskan sambungan telepon dengan Ibunya.
Prilly nyaris terjerembab ke lantai jika Ali tidak sigap menahan tubuh istrinya. Ali benar-benar panik melihat keadaan Prilly, perasaan subuh tadi istrinya baik-baik saja bahkan mereka sempat menikmati kembali satu ronde panas mereka.
"Kamu nggak apa-apa Sayang?" Ali benar-benar khawatir bahkan dia tanpa sadar sudah melemparkan ponselnya entah kemana.
Prilly mengangguk pelan. "Pusing Mas. Nggak bisa buka mata." keluhnya sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.
Ali membaringkan kembali istrinya, Prilly yang dilanda pusing tidak memperdulikan selimutnya yang sudah melorot hingga memperlihatkan dada mulusnya yang kini penuh dengan tanda dari Ali.
Ali menelan ludahnya. Sialan! Bisa-bisanya dia tergoda disaat istrinya sakit begini.
Ali buru-buru menarik selimut untuk menutupi ketelanjangan istrinya. Dia sudah mandi tadi bahkan sudah terlihat rapi dengan pakaian sehari-harinya.
Prilly meringis pelan saat kepalanya semakin berdenyut sakit bahkan tubuhnya sudah meringkuk laksana janin. "Mas mual.." kali ini Prilly mengeluh mual bahkan beberapa kali dia menutup mulutnya, perutnya bergejolak seperti ingin muntah.
"Nggak apa-apa muntahin aja di sini." Ali tidak tega jika harus membopong istrinya ke kamar mandi ditengah kondisi Prilly yang pusing dan lemah seperti ini.
"Nggak mau jorok!" Disaat genting seperti ini istri Ali itu masih sempat mengeluh jorok. "Huek!"
Ali beranjak dari ranjang bermaksud mengambil apa saja yang bisa menampung muntahan istrinya namun tidak ada apapun di kamarnya kecuali koper miliknya, masak iya Prilly muntah di koper mana mau istrinya itu.
"Muntah disini aja." Ali berbalik lalu menadahkan tangannya di depan mulut Prilly. "Kelamaan kalau Mas ke dapur dulu." Katanya enteng.
Prilly meringis pelan, menguap sudah keinginannya untuk muntah. Yang benar aja bagaimana mungkin suaminya melakukan hal ini. Tapi lebih dari itu semua Prilly benar-benar terharu ketika melihat Ali membuka telapak tangannya untuk menampung muntahnya.
Ah kenapa Ali manis sekali. Suami siapa sih ini?
"Nggak jadi muntahnya Sayang?" Tanya Ali dengan wajah bingungnya, tangannya masih pada posisi yang sama.
Prilly tersenyum lembut. Betapa bodohnya Kenanga memanfaatkan putra setulus Ali. Ali benar-benar penyayang dan Prilly yakin suatu saat nanti Ibu tiri Ali akan menyesali semuanya.
"Enggak Mas. Maunya dipeluk kamu aja, boleh?"
Dan senyuman Prilly semakin lebar ketika suaminya bergerak dan bergabung dengannya di ranjang. Pelukan Ali adalah obatnya saat ini.
Ah nyamannya..
**
Setelah ijab kabul Aldo dan Clara selesai, Kenanga langsung meminta Aldo untuk mengantarkannya pulang. Dia meminta keluarga Clara untuk menunda pesta pernikahan yang akan dilangsungkan hari ini.
Keluarga Clara jelas tak setuju awalnya tapi dengan alasan Mas-nya Aldo sakit maka mereka memakluminya.
"Mas Ali beneran sakit Bu?" Aldo menyetir mobil Clara dengan kecepatan penuh.
Kenanga yang duduk di jok belakang mendengus kesal. "Iya sakit. Hati Ibu yang disakiti sama Mas kamu itu."
"Emang Mas Ali ngapain sih Bu? Harusnya Mas Ali yang merasa kita sakiti, aku nikah aja kita nggak bilang sama dia." Aldo terus membantah Ibunya.
"Kan ada Ibu telfon Mas-mu itu." Kenanga tak terima di salahkan oleh putranya.
"Kalau misalnya Ibu yang kami buat begitu apa Ibu nggak marah? Bu, aku nikah loh masak iya Mas Ali cuma Ibu kasih tau di telfon."
"Lah salah kamu dan Clara kenapa ngebet pengen nikah! Kan rencananya cuma ngasih tahu keluarga Clara aja."
"Kok aku yang disalahin? Salah Clara sama keluarganya dong! Yang ngebet benget pengen aku nikahin anaknya." Aldo tidak seperti Ali yang sering mengalah demi Ibunya justru Aldo ini adalah kebalikan dari semua sifat Ali, hingga kadang Kenanga bingung yang anak kandungnya sebenarnya siapa? Ali apa Aldo sih?
"Udah mending kamu konsen nyetir deh! Aku nggak mau kita semua kenapa-napa gara-gara kamu." Clara yang mulai jengah akhirnya angkat bicara.
Aldo menatap istrinya tajam. "Kamu pikir aku mau kita kenapa-napa gitu?"
"Ya mana aku tahu pikiran kamu."
"Eh Ra! Kalau kamu marah gara-gara nggak kesampaian makek gaun 150 juta itu jangan lampiasin ke gue dong! Kan gue udah bilang gue nih kere cuma numpang hidup sama Mas gue. Nah lo bego mau-mau aja sama gue." cerca Aldo dengan kekehan gelinya. "Coba kalau yang lo nikahin Mas Ali, beuh jangankan gaun 150 juta sepatu setengah Milyar pun kalau lo mau pasti disanggupin sama Mas aku yang keren itu." Aldo memuji Ali dengan senyuman hangatnya.
"Mending kamu diam deh Al! Kepala Ibu pusing dengerin omongan kamu." kata Kenanga sambil memejamkan matanya.
Aldo melirik Ibunya lalu mencibir pelan. "Ibu nggak mau denger karena kemarin Mas Ali nggak kirimin uang yang Ibu minta kan? Bu, jangan terlalu menjajah Mas Ali begitulah lagian ngapain Ibu sok kaya sampe mau koleksi berlian begitu sayang duitnya Bu." Clara nyaris tersedak tawa ketika mendengar Aldo menasehati Ibunya layaknya orang bijak. Padahal kelakuan pria itu minus semua.
"Kamu nggak ngerti apa-apa jadi mending kamu diam!" Hardik Kenanga dengan wajah marahnya.
Aldo mengedikkan bahunya. "Terserah Ibu sih yang penting aku udah ingetin dan satu lagi jangan pingsan ya Bu kalau sampai dugaan aku bener kalau Prilly itu istrinya Mas Ali."
Inilah salah satu alasan Kenanga ingin cepat-cepat pulang ke kampungnya, dia harus mencerca Ali yang sudah berani-beraninya menikahi gadis lain yang bukan pilihannya.
Kenanga mengusap pelipisnya yang terasa sakit. Kepalanya nyaris pecah semua rencana yang sudah ia susun terancam kacau.
Sialan!
*****